Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kejar Deadline, Pengamat Sebut Bank Kecil Punya Masalah Serius. Apa Saja?

Bank-bank kecil disebut memiliki permasalahan yang serius, baik secara internal maupun eksternal.
Karyawati beraktivitas di sekitar logo Bank Neo Commerce di Jakarta, Kamis (19/4/2021). Bisnis/Arief Hermawan P
Karyawati beraktivitas di sekitar logo Bank Neo Commerce di Jakarta, Kamis (19/4/2021). Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menetapkan aturan modal inti minimum perbankan yang akan berlaku tetap senilai Rp3 triliun. Modal minimum ini wajib dipenuhi setiap bank pada 2022. Lalu, bagaimana nasib bank kecil?

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyebut bank-bank kecil memiliki permasalahan yang serius, baik secara internal maupun eksternal.

Menurut Bhima, biaya operasional pendapatan terhadap pendapatan operasional (BOPO) di bank kecil dinilai terlalu besar. Tak berhenti di sana, bank-bank kecil juga memiliki permasalahan lain, seperti masih mengandalkan kantor cabang fisik.

Jika melihat hal itu, Bhima mengartikan bahwa bank kecil relatif tertinggal dari sisi digitalisasi. Pasalnya, mereka masih mengandalkan keberadaan kantor cabang ketimbang memperluas digitalisasi.

“Bank kecil punya risiko ketika saat restrukturisasinya banyak yang berakhir. Maka, mereka akan menghadapi besarnya pencadangan yang dibutuhkan dan itu akan menggerus modal untuk antisipasi NPL di 2022,” kata Bhima kepada Bisnis, Jumat (5/11/2021).

Selain OJK meminta untuk menambah modal inti, kata Bhima, tetapi dari sisi internal bank kecil juga kesulitan untuk memenuhi beban pencadangan untuk risiko kredit macet.

“Kondisi ini mau enggak mau bank kecil untuk diakuisisi, untuk dijual sahamnya, pelepasan saham,” ucapnya.

Bhima melihat, tren yang terjadi saat ini banyak akuisisi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan digital. Dengan dilakukannya akuisisi, mereka mengincar bank-bank kecil untuk diubah menjadi bank digital guna melengkapi ekosistem.

“Dibandingkan mereka harus membentuk bank digital baru atau dari nol, tentu lebih sulit dari sisi regulasi. Jadi mereka mencaplok saham dari bank-bank kecil,” jelasnya.

Kendati demikian, Bhima mengungkapkan bahwa ada bank kecil yang bersedia untuk melepaskan saham kepemilikan dan menjadi bagian dari ekosistem digital. Sayangnya, pemegang saham dinilai relatif tidak lancar dalam hal negosiasi.

“Bank-bank kecil itu shareholder-nya atau pemegang sahamnya itu relatif alot dalam hal menegosiasi, sehingga proses akuisisi itu lama banget. Hal itu yang membuat bank kecil ada yang enggak menarik, jadi tidak semua bank kecil itu menarik untuk diakuisisi atau disuntik modal baru dari pemilik saham yang baru,” jelasnya.

Sementara itu, Bhima mengatakan prospek akhir tahun bank-bank kecil kemungkinan akan meminta keringanan kepada OJK selaku regulator untuk menambahkan syarat modal inti. Dengan kata lain, adanya kemungkinan bank-bank kecil akan meminta perpanjangan waktu untuk memenuhi modal inti minimum.

“Bagaimana caranya? Apakah harus menerbitkan saham baru, pelepasan saham baru, atau mau enggak mau melikuidasi. Itu sih pilihannya,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper