Bisnis.com, JAKARTA - Rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat regulasi tersendiri buat penyelenggara teknologi finansial klaster aggregator mendapat respons positif dari para pemain dan asosiasi.
Hal ini terungkap dalam White Paper Studi Tata Kelola Model Bisnis dan Penyelenggara Aggregator dalam Mendorong Inklusi Keuangan dan Ekonomi di Indonesia yang dirilis pada November 2021.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Pandu Sjahrir mengungkap bahwa studi ini dibuat menilik jumlah pemain aggregator terus bertumbuh, di mana 35 platform telah masuk keangggotaan Aftech, sementara yang sudah terdaftar sebagai penyelenggara Inovasi Keuangan Digital di OJK atau objek regulatory sandbox pun mencapai 31 platform.
"Perkembangan ini tentu perlu menjadi perhatian asosiasi, di mana setiap penyelenggara yang tumbuh harus tetap menjaga tata kelola sesuai peraturan yang berlaku. Hal ini penting untuk menciptakan ekosistem keuangan digital yang terus berinovasi namun tetap bertanggung jawab," tulisnya, dikutip Senin (20/12/2021).
Studi yang melibatkan asosiasi para pemain aggregator yang terdaftar sebagai anggota Aftech dan pihak profesional independen ini pun setidaknya menghasilkan 6 rekomendasi dalam tata kelola fintech dengan model bisnis aggregator.
Baca Juga
Antara lain, definisi yang luas, aturan kerja sama dengan institusi finansial lain, tangkap jabatan direksi atau pengurus, arus uang, perlindungan konsumen, dan penerapan regulatory technology untuk pengawasan para pemain.
Aftech melihat klaster aggregator berperan penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan beragam produk finansial, yang pada akhirnya mendorong literasi sekaligus meningkatkan inklusi keusngan.
Hal ini karena bisnis utama para pemain hanya membandingkan beragam produk finansial dan memberikan sarana pengguna menyesuaikan pilihan dengan kemampuan mereka secara langsung dalam platform, contohnya seperti CekAja dan Cermati.
Aftech sepakat dengan usulan OJK soal ketentuan bahwa setiap aggregator tidak bisa melakukan konsultasi pengguna terkait produk asuransi kepada pengguna, tidak diperkenankan menyimpan data pengguna yang tidak relevan dan tanpa persetujuan, menyediakan data privacy policy, memiliki layanan pengaduan yang bisa membantu menghubungkan pengguna dan mitra, serta menggunakan teknologi yang handal dalam menjalankan bisnis.
Namun, Aftech menyarankan agar aggregator diberikan keringanan terkait upaya menginformasikan dan membandingkan produk-produk asuransi, diizinkan memperoleh aliran dana pengguna berbasis escrow account perbankan, dan diizinkan untuk bekerja sama dengan institusi keuangan lain yang legal dan memiliki izin dari regulator terkait.
Adapun, Aftech juga mencontohkan beberapa regulasi di negara lain untuk memberikan gambaran soal model bisnis, termasuk bagaimana para pemain di wilayah terkait mendapatkan keuntungan dari layanan yang diberikannya.
Misalnya, Australia dan Uni Eropa mengatur aggregator bisa menjadi penghubung produk keuangan simpanan dan transaksi, pinjaman, kartu kredit, pengelolaan dana. India hanya layanan dari perbankan dan asuransi. Sementara Filipina, Singapura, dan Malaysia membatasi aggregator hanya boleh membandingkan produk asuransi konvensional maupun syariah.