Bisnis.com, JAKARTA -- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencatat aset neto dana jaminan sosial kesehatan per November 2021 mencapai Rp37,92 triliun.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan, capaian aset neto tersebut menunjukkan kondisi keuangan dana jaminan sosial berada dalam kondisi sehat dibandingkan kondisi tahun-tahun sebelumnya yang mengalami defisit cukup besar.
"Kalau kita lihat posisi 2019 defisit itu Rp51 triliun, akhir Desember defisit aset netonya Rp5,69 triliun. Baru pertama kali ini di dalam sejarah BPJS Kesehatan itu bisa capai aset neto Rp30 triliun lebih," ujar Ghufron dalam Public Expose: Kaleidoskop 2021 dan Outlook 2022 BPJS Kesehatan, Kamis (30/12/2021).
Posisi aset bersih per 30 November 2021 senilai Rp37,92 triliun tersebut, kata Ghufron, mampu memenuhi 4 bulan estimasi pembayaran klaim ke depan. Posisi tersebut telah melampaui ketentuan minimum yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2015.
Dalam Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 84 Tahun 2015 disebutkan bahwa kesehatan keuangan aset DJS diukur berdasarkan aset bersih dengan ketentuan: pertama, paling sedikit harus mencukupi estimasi pembayaran klaim untuk 1,5 bulan ke depan, dan kedua, paling banyak sebesar estimasi pembayaran klaim untuk 6 bulan ke depan.
"Aset neto ini kurang lebih bisa untuk antispasi klaim 4 bulan. Artinya, sehat tapi belum berlebihan sehatnya itu," kata Ghufron.
Baca Juga
Meski mencatatkan surplus aset neto, Ghufron menilai kondisi keuangan lembaganya belum aman karena akan sangat bergantung pada situasi pandemi Covid-19, penyesuaian tarif, kerja manajemen, dan lainnya. Pihaknya tengah melakukan sejumlah simulasi untuk mengantisipasi perkembangan kondisi ke depan.
"Yang jelas sekarang ini kondisi kesehatan keuangan BPJS Kesehatan makin baik dan kami ingin kinerja lebih baik lagi," katanya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan, isu terkait defisit pembiayaan kesehatan dari waktu ke waktu harus terus diperbaiki. Menurutnya, pandemi Covid-19 ini telah membuat isu pembiayaan kesehatan sedikit longgar dan ini bisa menjadi waktu yang tepat untuk memperbaiki isu pembiayaan kesehatan.
"Ada skema-skema tertentu yang dapat dilakukan dalam rangka membantu pemerintah, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, dan BPJS Kesehatan agar mempunyai ruang pendanaan yang longgar atau memadai untuk mengurus orang miskin yang perlu dibantu. Ini menjadi perhatian kami di Komisi IX bersama Komisi XI, kami ingin mendorong bisa dilakukan proses untuk membuat kita bisa memberikan dukungan pembiayaan kesehatan di BPJS," katanya.
Sementara itu, Pengamat Jaminan Sosial Chazali Situmorang menilai surplus dana jaminan sosial harus dapat dioptimalkan untuk kepentingan pelayanan. Dana tersebut baiknya diamankan dalam bentuk investasi, salah satunya melalui investasi di instrumen surat berharga negara (SBN).
"Aset dana jaminan sosial dioptimalkan sebisa mungkin melalui instrumen SBN. Harus diamankan dalam rangka investasi, di satu sisi ini membantu keuangan negara dengan dimasukkan ke dalam SBN dan di sisi lain ini merupakan akuntabilitas penempatan dana pada instrumen investasi yang tidak berisiko karena sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat," kata Chazali.