Bisnis.com, JAKARTA - Sebanyak 516 nasabah korban gagal bayar Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 meminta restu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terhadap satu-satunya asuransi mutual di Tanah Air tersebut.
Pengacara sekaligus koordinator para nasabah, Hendro Saryanto mengungkap bahwa surat kuasa para pemegang polis telah diteken dan dikirim ke OJK bersama surat permohonan pertama per 22 Februari 2022.
"Langkah kami bertujuan agar OJK menyetujui kami yang mendapatkan mandat dari para nasabah mengajukan permohonan PKPU terhadap AJB Bumiputera 1912 sebagai debitur," ujarnya ketika dikonfirmasi Bisnis, Jumat (4/3/2022).
Pada dasarnya, surat permohonan tersebut menjabarkan argumentasi bahwa penyelesaian permasalahan melalui ketentuan internal AJB Bumiputera yang tengah berproses, merupakan upaya yang terlalu dangkal, memakan waktu lama, dan tampak hanya melempar bola panas ke pihak-pihak internal.
Oleh sebab itu, mekanisme permohonan PKPU dinilai sebagai upaya yang lebih efektif, baik dari segi waktu maupun biaya. Selain itu, mekanisme ini juga baik bagi semua pihak, karena memberikan kejelasan terkait keberlanjutan usaha AJB Bumiputera.
"Kami menilai mekanisme ini sangat efektif dan efisien dalam menentukan masa depan AJB Bumiputera, karena hanya dalam jangka waktu 270 hari sudah diketahui AJB Bumiputera akan melanjutkan usahanya atau mengakhiri usaha, keputusan ini akan disaksikan sendiri oleh nasabah dalam rapat kreditur," tambahnya.
Baca Juga
Terkini, per 4 Maret 2022, Hendro sebagai perwakilan 516 pemegang polis kembali mengirimkan surat permohonan kedua kepada OJK terkait hal serupa, menilik belum ada tanggapan sejak surat pertama.
Adapun, permohonan kepada OJK merupakan langkah pihak pemegang polis untuk menghormati OJK. Di mana sesuai undang-undang terkait perasuransian, OJK memiliki peran sentral dalam hal pemailitan suatu lembaga keuangan di bidang asuransi.
"Inti dari PKPU adalah perdamaian yang merupakan asas kebebasan berkontrak, harusnya tidak perlu melibatkan OJK. Lain halnya dengan pemailitan, harus melibatkan OJK karena terkait fungsi perlindungan konsumen. Tetapi kami tetap menghormati OJK, oleh karenanya kami sudah mengirimkan surat dua kali meminta persetujuan untuk mengajukan PKPU," jelas Hendro.
Sebagai gambaran, Hendro menjelaskan menurut UU Perasuransian, yang harus dapat izin hanya permohonan kepailitan saja. Sedangkan UU Kepailitan dan UU PKPU memang harus mendapatkan izin OJK.
Sebelumnya, dilema PKPU terkait asuransi sempat tergambar dalam kasus pembatalan putusan pailit dan homologasi PT Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life) oleh Mahkamah Agung (MA). Padahal, gugatan perdata enam orang nasabah Kresna Life sebelumnya menang.
Alasannya, sesuai UU terkait PKPU, pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan PKPU terhadap perusahaan asuransi tidak diberikan kepada kreditor maupun debitor, tetapi diberikan hanya kepada satu lembaga, yaitu Menteri Keuangan yang kemudian beralih kepada OJK.
Namun demikian, Hendro masih optimistis bahwa OJK mau mendengar argumentasi para pemegang polis dan segera memberikan kepastian.
"Karena saat ini apabila ditambah nasabah yang mendukung langkah kami, malah sudah lebih dari 800 nasabah. Kami akan terus maju, apalagi permohonan PKPU khusus untuk asuransi harus lewat OJK itu pun sebenarnya masih debatable," tutupnya.