Bisnis.com, JAKARTA – Sinyal positif yang diberikan Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin dengan mendukung rencana pemisahan layanan syariah LinkAja menjadi bank syariah digital dinilai memiliki peluang bagus bagi salah satu produk PT Fintek Karya Nusantara (Finarya).
“Saya mendorong dan setuju rencana spin off layanan syariah LinkAja menjadi LinkAja Syariah. Saya juga mendorong berbagai unit, termasuk BPD [Bank Pembangunan Daerah], agar bank-bank daerah dapat menjadi bank umum,” ujar Amin melalui konferensi video, Selasa (5/4/2022).
Namun, Wapres menekankan pentingnya aspek kehati-hatian dan kesesuaian syariah dapat diterapkan oleh LinkAja, juga persiapannya dalam memenuhi segala persyaratan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Tentu eksekusi keberhasilannya bergantung pada kesiapan LinkAja di dalam memenuhi persyaratan dari OJK. Harus tetap mengutamakan aspek prudensial dan kehati-hatian, serta aspek kesesuaian syariahnya. Itu penting,” ingatnya.
Sejak diresmikan pada 2020, layanan syariah LinkAja telah berkembang sebagai satu-satunya dompet digital berbasis syariah di Tanah Air.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menilai adanya peluang bagi LinkAja untuk membuat bank digital syariah pertama di Indonesia.
Menurut Huda, pangsa pasar dalam negeri yang sangat besar bisa membuat perubahan tersebut menjadi sangat potensial. Terlebih, bank digital saat ini belum ada yang berupa bank digital syariah, baru sebatas memiliki layanan syariah saja.
“Maka LinkAja bisa menjadi yang pertama di Indonesia dan itu adalah peluang yang bagus,” kata Huda kepada Bisnis, Rabu (6/4/2022).
Selain itu, Huda menilai peluang ini juga akan bisa menumbuhkan industri keuangan syariah di Indonesia yang masih kecil di dalam negeri.
“Masyarakat diberikan pilihan layanan perbankan digital yang sesuai dengan prinsip syariah,” sambungnya.
Namun demikian, Huda melihat transformasi LinkAja masih ada memiliki beberapa hambatan. Satu di antaranya adalah modal inti. Pasalnya, syarat pendirian bank digital haruslah memiliki modal inti minimum senilai Rp10 triliun. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Bank Umum.
Huda menjelaskan modal inti ini cukup besar untuk sekelas startup yang nilai valuasinya masih relatif kecil dibandingkan startup lainnya.
“Ada cara yang lebih mudah yaitu dengan kerja sama atau akuisisi bank umum dengan biaya modal inti relatif lebih kecil,” sarannya.
Adapun hambatan kedua adalah penetrasi layanan syariah masih terfokus pada pasar tertentu. Huda menilai, penetrasi layanan syariah seharusnya bisa dikembangkan lagi pangsa pasarnya dengan memperluas pangsa pasar dan bersaing dengan perbankan digital konvensional, di mana juga beberapa dimiliki oleh perusahaan startup.
Hambatan lainnya atau ketiga adalah ekosistem LinkAja masih belum sekomplit pesaingnya, di mana ekosistem ini berperan untuk memperkuat daya saing dari sebuah startup.