Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ramalan Ekonom BRI Soal Potensi Kenaikan Suku Bunga The Fed

Suku bunga acuan AS yang awalnya diperkirakan naik sekitar 75 basis poin (bps) pada 2022, diperkirakan akan mencapai kenaikan sebesar 175 bps hingga akhir tahun.
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang menentukan kenaikan dan penurunan suku bunga
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang menentukan kenaikan dan penurunan suku bunga

Bisnis.com, JAKARTA – Chief Economist BRI sekaligus Direktur Utama BRI Research Institute Anton Hendranata mengatakan bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, diperkirakan masih akan meningkatkan suku bunga acuannya sampai dengan akhir tahun 2022.

Anton menuturkan tren inflasi yang terus beranjak naik membuat bank sentral AS melakukan pengetatan kebijakan moneter secara dramatis. Suku bunga acuan AS yang awalnya diperkirakan naik sekitar 75 basis poin (bps) pada 2022, secara drastis berubah menjadi 175 bps.

Sebagai catatan, kenaikan suku bunga acuan AS sudah mengalami kenaikan sebesar 75 bps. Peningkatan 25 bps terjadi pada Maret 2022 kemudian kembali naik sebesar 50 bps pada Mei.

“Ini artinya sampai akhir tahun kemungkinan akan naik lagi sebesar 100 bps, dengan fase yang lebih cepat,” ujar Anton dalam keterangan tertulis, Sabtu (21/5/2022).

Menurutnya, reaksi bank sentral AS saat ini sangat wajar karena inflasi di negeri Paman Sam itu sudah berada di atas 8 persen. Tercatat, 8,5 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Maret, kemudian sedikit mengalami penurunan ke 8,3 persen yoy April 2022.

Anton mengatakan ketidakpastian di dalam perekonomian dunia masih sangat tinggi, walaupun pandemi Covid-19 sudah relatif terkendali dengan baik.

Selain itu, dinamika dan pemulihan ekonomi dunia sangat cepat berubah dibandingkan akhir tahun lalu dan harus diakui jauh dari ekspektasi sebelumnya.

Dia menuturkan dampak negatif Covid-19 sangat terasa mengganggu rantai pasok sehingga terjadi shortage supply yang luar biasa pada barang dan jasa, terutama energi dan pangan.

“Hal ini yang menyebabkan harga komoditas energi dan pangan melonjak tinggi, yang menyebabkan inflasi melonjak signifikan di hampir semua negara, tidak terkecuali di negara maju, seperti AS,” pungkasnya.

Anton menilai, inflasi yang terjadi sekarang ini terbukti tidak bersifat sementara, cenderung makin persisten karena meningkatnya tensi geopolitik perang Rusia-Ukraina. Apalagi, Rusia adalah produsen minyak, gas, dan pangan yang memiliki kontribusi besar.

Kondisi tersebut, lanjutnya, semakin mendorong harga komoditas yang sebelumnya sudah sangat tinggi, menjadi lebih mahal lagi. Alhasil tren inflasi terus beranjak naik dan dikuatirkan perekonomian dunia mengalami stagflasi.

“Oleh karena itu, di berbagai negara saat ini fokus bagaimana memerangi inflasi yang sangat tinggi ini. Di berbagai negara sudah banyak menaikkan suku bunga acuannya,” kata Anton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper