Bisnis.com, JAKARTA - Industri pembiayaan (leasing) percaya diri bahwa berakhirnya era relaksasi terkait restrukturisasi kredit pada April 2023 nanti akan berakhir mulus, karena para pemain terbilang sudah siap.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menjelaskan bahwa pada puncaknya, outstanding restrukturisasi kredit sempat mencapai separuh dari total portofolio industri di kisaran Rp405 triliun per Juni 2022.
"Restrukturisasi pernah mencapai Rp200 triliun lebih, tapi saat ini tinggal 3-5 persen dari total. Artinya, nasabah itu sudah kembali membayar normal atau mengembalikan kendaraannya," ujarnya dalam diskusi virtual Bisnis Indonesia Mid-Year Economic Outlook 2022, dikutip Rabu (3/8/2022).
Suwandi menambahkan bahwa restrukturisasi awalnya memang menjadi momok buat para pelaku dalam industri pembiayaan, terutama karena berefek pada kurang lancarnya arus kas yang masuk. Akan tetapi, kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit dari OJK membuat perusahaan cukup terbantu. Pasalnya dalam relaksasi akuntansi restrukturisasi para debitur tidak terhitung sebagai non-performing financing (NPF), serta tidak wajib dibentuk beban pencadangan seperti seharusnya.
"Itulah kenapa kami sudah sering diingatkan [oleh regulator], apakah nanti setelah masa relaksasi berakhir akan soft-landing atau hard-landing [kerugian membengkak hingga modal tergerus]. Tapi, di perusahaan pembiayaan kami lihat tidak akan berpengaruh besar, karena debitur yang sudah tidak kuat itu lebih banyak menyerah [pengembalian unit]. Selain itu, kebanyakan pemain melakukan pencadangan sesuai ketentuan," tambahnya.
Baca Juga
Hal ini sekaligus menanggapi amanah Ketua Dewan Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) OJK Ogi Prastomiyono beberapa waktu lalu, agar para pemain industri pembiayaan tetap mengawasi kondisi debitur terdampak Covid-19 yang masih memiliki piutang restrukturisasi.
Sebagai informasi, OJK sebelumnya telah memperpanjang periode kebijakan countercyclical dampak pandemi Covid-19 khusus sektor Industri Keuangan Non-Bank (IKNB), dari sebelumnya berakhir pada April 2022 menjadi berakhir pada April 2023.
Oleh sebab itu, menurut Ogi, pelaku harus rajin melakukan pemantauan berkala terhadap debitur restrukturisasi aktif, serta memiliki data yang lengkap dan akurat, untuk mengantisipasi skenario pemburukan yang mungkin terjadi pasca berakhirnya relaksasi.
Sebagai informasi, kebijakan restrukturisasi dari pelaku multifinance kebanyakan berupa kesepakatan penangguhan pembayaran cicilan, mengakomodasi perpanjangan tenor, atau memungkinkan debitur hanya membayar cicilan pokok terlebih dahulu dalam jangka waktu tertentu.
Direktur Sales & Distribusi PT Mandiri Tunas Finance (MTF) William Francis menjadi salah satu yang optimistis bahwa masa restrukturisasi akan berakhir mulus karena kebanyakan kondisi perekonomian debitur sudah lebih baik.
"Pada puncak permintaan restrukturisasi, outstanding-nya itu besar sekali, sampai sekitar 30 persen dari portofolio kami. Sekarang, outstanding debitur MTF yang masuk dalam kategori restrukturisasi aktif tinggal sekitar Rp400 miliar per Juni 2022," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (3/8/2022).
Sebagai gambaran, debitur restrukturisasi MTF sebelumnya didominasi debitur-debitur segmen fleet atau mobil operasional usaha, angkutan perjalanan, kendaraan rental di tempat wisata, atau pelaku usaha sektor pariwisata itu sendiri.
Sedikit berbeda, emiten pembiayaan PT Adira Dinamika Multi Finance Tbk. (ADMF) yang mayoritas debiturnya berasal dari kalangan menengah ke bahwa dan sektor UMKM, lebih memilih strategi memperkuat pencadangan NPF dari para debitur tersebut.
Direktur Utama Adira Finance I Dewa Made Susila menjelaskan bahwa dengan NPF Coverage di sekitar 300 persen, walaupun nominal restrukturisasi masih terbilang tinggi, tapi rasio NPF bisa bertahan dan sudah kembali ke level normal sebelum pandemi Covid-19 ke sekitar 2 persen.
"Restrukturisasi kredit kami perkembangannya cukup baik. Karena sudah menurun sampai Juni 2022, outstanding-nya tinggal Rp3,2 triliun. Sebelumnya, restrukturisasi kredit yang pernah kami bukukan pada medio 2020 sempat mencapai Rp19 triliun," ungkapnya.
Adapun, emiten pembiayaan PT BFI Finance Tbk. (BFIN) sebelumnya mencatat bahwa debitur pemohon restrukturisasi kebanyakan berasal dari pelaku industri dengan objek pembiayaan non-alat berat. Contohnya, pembiayaan mesin-mesin industri atau mobil pengangkutan.
Direktur Keuangan BFIN Sudjono menjelaskan bahwa piutang restrukturisasi kredit pihaknya saat ini hanya sebesar 4,5 persen dari total nilai piutang pembiayaan per Juni 2022 senilai Rp12,59 triliun.
Sudjono mengungkap restrukturisasi BFIN sempat mencapai puncaknya pada September 2020 dengan persentase hingga 35,5 persen dari total piutang pembiayaan.
"Sebagian besar dari sisa piutang restrukturisasi atau sebanyak 79,4 persen, sudah kembali membayar angsuran penuh. Bahkan, hanya 0,9 persen dari mereka yang masih melakukan pembayaran dengan nilai di bawah angsuran normal. Jadi kalau sudah melakukan pembayaran normal di lebih dari 12 angsuran terakhir, seharusnya sudah bisa dikeluarkan dari kategori restrukturisasi aktif," tutupnya.