Bisnis.com, JAKARTA – PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) menyakinkan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bahwa cliff effect atau potensi risiko berakhirnya kebijakan stimulus fiskal untuk pemulihan perekonomian tidak akan terjadi di perseroan, ketika relaksasi kebijakan restrukturisasi kredit dampak Covid-19 tidak diperpanjang pada Maret 2023.
Untuk diketahui, relaksasi restrukturisasi kredit Covid-19 tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019. Beleid tersebut diterbitkan pada Maret 2020 yang berlaku sampai dengan 31 Maret 2021.
POJK ini diterbitkan sebagai langkah antisipatif dan lanjutan untuk mendorong optimalisasi kinerja perbankan, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi dengan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dan menghindari terjadinya moral hazard.
Kemudian, OJK memperpanjang kebijakan stimulus restrukturisasi kredit dari 31 Maret 2022 sampai dengan 31 Maret 2023. Kebijakan ini berlaku bagi BUK, BUS, UUS, BPR atau BPRS.
Direktur Kepatuhan BRI Ahmad Solichin Lutfiyanto mengatakan sebagai bank yang berfokus di pasar UMKM, BRI merespons kebijakan restrukturisasi kredit dengan melihat dari sisi aset. Menurut Ahmad, dalam kondisi krisis apapun, itu akan memicu pada kenaikan rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL).
Untuk itu, Ahmad menyampaikan fokus pertama yang dilakukan BBRI adalah secepat mungkin melakukan restrukturisasi aset.
“Puncaknya itu pernah kita sampai mereduksi aset di atas Rp200 triliun, dan kita punya waktu yang sempit untuk melakukan hal itu. Sampai sekarang posisinya sudah di bawah Rp150 triliun,” ujar Ahmad dalam webinar bertajuk “Digital Governance: Prasyarat Untuk Mendukung Transformasi Digital”, Kamis (11/8/2022).
Ahmad menuturkan dukungan yang mengalir dari OJK dan pemerintah, telah memberikan kesempatan bagi perbankan untuk mengarungi krisis pandemi Covid-19.
“OJK tidak perlu khawatir dan tidak perlu takut, bahwa kami akan janji kami akan jaga bahwa cliff effect karena restrukturisasi ini tidak akan terjadi di BRI. Itu di sisi aset,” tuturnya.
Namun, Ahmad menyampaikan tidak mungkin saat krisis melanda, perbankan hanya melakukan restrukturisasi kredit, sebab itu tidak membuat perekonomian Indonesia tumbuh. Untuk itu, BBRI harus tetap melakukan pertumbuhan pinjaman di masa itu.
“Karena halnya enggak pasti, tetapi pemerintah suportif dengan kebijakan pemulihan ekonomi nasional, sehingga kita pada saat itu strateginya adalah bisnis follow stimulus. Di sana, pinjaman tetap tumbuh dengan cukup bagus, tapi aset kualitas juga terjaga,” ungkapnya.