Bisnis.com, JAKARTA - PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk. (Bank BJB) telah menyalurkan kredit pemilikan rumah (KPR) sebesar Rp8,5 triliun pada kuartal II/2022. Realisasi tersebut tumbuh 16,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Perusahaan berkode saham BJBR itu menargetkan pada tahun ini KPR dapat tumbuh 15-16 persen year on year (yoy). Artinya pencapaian pada Juni 2022, telah melampaui dari target yang ditentukan.
Direktur Utama Bank BJB Yuddy Renaldi mengatakan permintaan pada segmen KPR terus tumbuh seiring dengan pulihnya ekonomi dan naiknya keyakinan masyarakat untuk melakukan konsumsi dan berinvestasi, salah satunya melalui properti.
Pertumbuhan KPR di Bank BJB, lanjutnya, juga didorong oleh besarnya permintaan untuk segmen rumah subsidi melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Pada tahun ini, Bank BJB memperoleh kuota sebanyak 8.500 unit, lebih besar hampir 50% dibandingkan kuota pada tahun lalu.
“Kami memproyeksikan pertumbuhan KPR pada level 15-16 persen yoy sampai dengan akhir 2022,” kata Yuddy kepada Bisnis, Kamis (18/8).
Sementara itu, berdasarkan hasil Survei Harga Properti Residensial yang dirilis oleh Bank Indonesia pada Kamis (18/8), skema kredit pemilikan rumah dan apartemen (KPR/KPA) masih menjadi pilihan utama debitur untuk mengakses pembelian hunian.
Pada kuartal II/2022, porsi debitur yang membeli rumah dengan fasilitas KPR sebanyak 74,97 persen atau lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal I/2022 sebesar 69,54 persen.
Pertumbuhan KPR/KPA sepanjang 10 kuartal terakhir terjadi pada kuartal I/2022 dengan laju hingga 10,61 persen year-on-year (YoY). Memasuki kuartal II/2022, kendati masih mencatat pertumbuhan, secara tren mulai melambat dengan laju 7,07 persen yoy.
Jika dibandingkan dengan angka pertumbuhan secara kuartalan, laju KPR/KPA memasuki kuartal kedua tahun ini mulai terkontraksi.
Dalam laporan survei itu, kenaikan harga bahan bangunan dan masalah perizinan atau birokrasi masih menjadi kendala utama yang menyebabkan pertumbuhan penjualan hunian residensial menjadi tumbuh terbatas. Dua faktor utama itu lebih dirasakan oleh kalangan pengembang atau developer