Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 3,75 persen pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Agustus ini. Menurut sejumlah pakar, kenaikan ini tidak akan menjadi satu-satunya kenaikan pada tahun ini.
Sebagai konteks, kenaikan suku bunga tersebut dipandang perlu untuk menjangkar ekspektasi inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Terutama di tengah risiko perekonomian global yang masih tinggi.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kebijakan BI tersebut. Pertama, yaitu ekspektasi yang akan meningkat pada akhir tahun yang didorong oleh peningkatan harga barang bergejolak dan barang yang diatur pemerintah dalam 3 bulan terakhir.
“Pemerintah berpotensi melakukan penyesuaian harga BBM dalam waktu dekat. Peningkatan kedua komponen inflasi tersebut berpotensi meningkatkan inflasi inti di akhir tahun sebagai efek dari second round,” katanya kepada Bisnis, baru-baru ini.
Faktor kedua, yaitu output gap yang tercatat positif, mengindikasikan peningkatan pada sisi permintaan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,44 persen secara tahunan, di atas ekspektasi, berimplikasi pada positifnya output gap dari Indonesia.
Faktor ketiga adalah potensi penurunan surplus dari transaksi berjalan pada akhir tahun, seiring dengan normalisasi harga komoditas global. Penurunan nilai transaksi berjalan berpotensi mempengaruhi nilai tukar rupiah sejalan dengan ekspektasi harga komoditas yang akan melandai ke depan.
Josua mengatakan kenaikan suku bunga acuan pada Juli 2022 ditujukan untuk menjangkar ekspektasi inflasi dalam jangka pendek menengah. Pada dasarnya, instrumen suku bunga hanya mampu menahan laju dari inflasi inti, bukan dari sisi inflasi bergejolak maupun barang yang diatur pemerintah.
Laju inflasi barang bergejolak diperkirakan akan mulai melambat seiring dengan musim panen pada periode Agustus-September, namun kembali berpeluang meningkat pada akhir tahun.
Hingga akhir tahun, Josua memperkirakan tingkat inflasi akan mencapai kisaran 5,0 hingga 5,5 persen tahun ini. Oleh karena itu, BI masih berpotensi menaikkan suku bunga acuan kembali sebesar 50 basis poin hingga akhir tahun.
“BI diperkirakan melanjutkan kenaikan hingga akhir tahun ini sebesar 50 basis poin dan hingga awal tahun depan,” katanya.
Senada, Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan bahwa ruang bagi BI untuk menaikkan suku bunga kebijakan masih tetap terbuka kedepannya.
Dari sisi eksternal, ketidakpastian kenaikan inflasi secara global, yang mendorong normalisasi moneter global yang lebih agresif dan lebih cepat dari perkiraan, terus berlanjut.
Surplus neraca perdagangan pun diperkirakan cenderung menyusut di tengah perlambatan ekonomi global. Situasi tersebut meningkatkan risiko terhadap stabilitas sektor eksternal Indonesia ke depan.
Dari sisi domestik, tingkat inflasi pada Juli 2022 tercatat melonjak menjadi sebesar 4,94 persen. Laju inflasi diperkirakan terus meningkat hingga akhir tahun, terutama setelah pemerintah memberikan sinyal untuk menaikkan harga BBM.
“Dampak kenaikan tersebut diperkirakan cukup besar karena tidak hanya berdampak pada first round terhadap inflasi administered price tetapi juga berdampak pada second round terhadap barang dan jasa lain selain BBM dan transportasi,” kata dia.
Dia memperkirakan, dengan memperhitungkan kenaikan harga BBM, maka tingkat inflasi pada akhir 2022 berpotensi mencapai 6 persen.
“Secara keseluruhan, kami melihat BI masih memiliki ruang untuk menaikkan suku bunga acuan hingga 50 basis poin, menjadi maksimal 4,25 persen di sisa tahun 2022,” jelasnya.