Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengingatkan agar industri jasa keuangan, termasuk perbankan dalam negeri mengantisipasi risiko global seperti gangguan rantai pasok, tingginya inflasi yang diredam dengan kenaikan suku bunga acuan sehingga kini menjelma sebagai badai besar sempurna (perfect storm). Atas kondisi yang mengkhawatirkan itu, pengamat pun menyarankan sejumlah antisipasi yang bisa dilakukan perbankan.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan, perfect storm hanya akan menimpa negara-negara maju yang sekarang menuju resesi. Sementara negara-negara berkembang seperti Indonesia akan terkena dampak yang kurang signifikan.
"Akan tetapi, perbankan ada baiknya melihat dan antisipasi," ujarnya kepada Bisnis baru-baru ini.
Salah satu hal yang mesti diantisipasi adalah pemberian kredit kepada sektor-sektor ekspor impor, terutama menuju atau dari negara maju yang saat ini mengalami resesi. "Selain itu, dilakukan persiapan untuk melihat transaksi-transaksi luar negeri itu," ujarnya.
Dari sisi kinerja, perbankan menurutnya harus mengantisipasi terkait dengan tingkat pengembalian ekuitas (return on equity/ROE) dan marjin bunga bersih (net interest margin/NIM). "Karena akan sulit kontrol dengan inflasi dan kenaikan-kenaikan suku bunga," kata Amin.
Selain itu, pencadangan pun mesti diperhatikan jika akan ada perburukan kinerja dan kualitas kredit sebagai dampak jangka panjang.
Baca Juga
Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah juga menilai bahwa dampak perfect storm terhadap ekonomi Indonesia sangat minim. Kondisi industri jasa keuangan juga masih menunjukkan tren positif.
Bank Indonesia (BI) sebelumnya mencatat pertumbuhan kredit perbankan tumbuh dobel digit sebesar 10,66 persen secara tahunan pada Juni 2022. Capaian ini bahkan melampaui capaian kredit sepanjang 2021 yang tumbuh 5,2 persen.
"Tapi, bukan berarti perbankan tidak mesti melakukan antisipasi apa-apa. Di sektor keuangan, persepsi dari pelaku itu besar pengaruhnya. Ini menjadi tugas otoritas agar menjaga persepsi pelaku ekonomi dan berperilaku tidak berlebihan yang malah membuat permasalahan," ujarnya.
Selain itu, perbankan perlu mengantisipasi kemungkinan berakhirnya relaksasi restrukturisasi kredit perbankan pada Maret 2023. "Restrukturisasi kemungkinan akan berakhir Maret tahun depan. Ini bisa memicu kerentanan di perbankan," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar memperkirakan bahwa perekonomian dunia akan mengalami perfect storm.
"Kita melihat ekomomi global saat ini layaknya badai. Apakah ini badai topan, taifun, atau percect storm. Nampaknya, skenario perfect storm yang paling kuat probabilitasnya ke depan," kata Mahendra dalam acara BNI Investor Daily Summit 2022 pada Selasa (11/10/2022).
Ia menjelaskan, perfect storm dalam konteks ekonomi global artinya tiga hal menjadi satu, yakni inflasi tertinggi, resesi, dan ketidakpastian geopolitik global.
Meski begitu, ia tidak mengungkapkan seberapa lama dan seberapa besar kondisi perfect storm itu terjadi.
Ia mengatakan, Indonesia pun perlu mengantisipasi adanya perfect storm yang akan terjadi pada ekonomi global ini. Dalam konteks OJK, koordinasi untuk mitigasi pun terus digencarkan.
"Kita terus mencermati atau memantau kondisi global, termasuk dengan apa yang disebut stress test terhadap skenario yang terjadi sehingga kita tidak lengah," ujarnya.
OJK juga akan terus melakukan upaya pengawasan lembaga jasa keuangan secara terintegrasi. "Lebih lanjut akan ada Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) atau Omnibus Law Keuangan. Tentu dengan adanya ini, OJK mengingatkan kembali bagaimana kesiagaan di indutsri jasa keuangan baik untuk potensi resiko dan fungsi intermediasi," ujarnya.
OJK juga telah meminta industri keuangan untuk mencermati resiko pasar, surat-surat berharga negara, serta valuta asing agar memiliki sensitivitas alokasi dan proporsi yang tidak berlebihan.