Bisnis.com, JAKARTA — PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. atau BBRI memperkirakan 10 persen dari total restrukturisasi kredit akibat Covid-19 tidak bisa diselamatkan. Sementara itu mayoritas sisanya kembali lancar.
"Mayoritas [kredit restrukturisasi] lancar kembali dan bisa membayar kewajibannya sesuai ketentuan. Bahkan banyak yang sudah lunas," kata Direktur Utama BRI Sunarso dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Rabu (16/11/2022).
BRI melaporkan total kredit restrukturisasi terdampak Covid-19 pada kuartal III/2022 senilai Rp116 triliun. Angka ini turun hampir 100 persen dari total kredit restrukturisasi selama pandemi, yakni Rp256 triliun.
Lebih rinci, BRI telah memangkas 2,5 juta dari 3,9 juta nasabah restrukturisasi Covid-19. Hal ini membawa loat at risk (LAR) perusahaan dari 29,8 persen pada September 2020 menjadi 19,3 persen pada Kuartal III/2022. Adapun sebanyak 7,7 persen LAR berasal dari restrukturisasi Covid-19 dan 11,6 persen non Covid-19.
"Saat ini jumlah nasabah yang tersisa itu 1,4 juta nasabah. Jadi turun 2,5 juta jadi yang tertinggi restrukturisasi kita ada di september 2020 sebesar 3,9 juta nasabah. Jadi sudah turun, sisa 1,4 juta dan terus kami monitor supaya kita bisa jaga kualitas agar tetap baik," kata Direktur Manajemen Risiko Agus Sudiarto.
Sementara itu periode program restrukturisasi kredit dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan berakhir pada 31 Maret 2023. Selanjutnya OJK hendak melanjutkan program tersebut, tetapi hanya menyasar sektor tertentu.
Baca Juga
Terkait hal tersebut, kata Agus, BRI telah siap menyambut berakhirnya program restrukturisasi. Dengan asumsi kredit yang tidak bisa diselamatkan sebanyak 10 persen, BRI mengklaim pencadangan kredit restrukturisasi sebesar 25,7 persen sudah cukup kuat.
"Saat ini pencadangan khusus covid yakni hampir 30 triliun [tepatnya] 29,95 triliun atau hampir 25 persen dari outstanding covid kita," jelas Agus Sudiarto
Diberitakan sebelumnya, OJK tengah menyiapkan respons kebijakan yang bersifat sektoral dan terarah terkait dengan restrukturisasi kredit. Langkah ini dilakukan agar lembaga jasa keuangan mampu menangkal segala potensi risiko pada 2023.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan bahwa langkah tersebut bertujuan mendukung keberlanjutan pemulihan ekonomi untuk mengatasi scarring effect, sekaligus menjaga kinerja fungsi intermediasi.
Mahendra menyampaikan OJK saat ini sedang menyiapkan kebijakan yang mengincar sektor tertentu, antara lain, berupa restrukturisasi serta penetapan perlakuan khusus untuk lembaga jasa keuangan di sektor tertentu yang terdampak bencana alam dan non-alam.
“Kami akan mematangkan dalam waktu dekat untuk melihat sektor dan wilayah yang memerlukan dukungan restrukturisasi kredit untuk disampaikan kebijakan dan relaksasinya,” tuturnya dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Kamis (3/11/2022).