Bisnis.com, JAKARTA - Kasus-kasus gagal bayar oleh beberapa perusahaan asuransi jiwa bermasalah harus menjadi pelajaran bersama, baik bagi masyarakat umum, regulator, juga jajaran manajemen dan para karyawan perusahaan asuransi.
Pengamat dan praktisi asuransi Kapler Marpaung melihat bahwa kasus-kasus dari perusahaan asuransi seperti Wanaartha, Bumiputera, Jiwasraya, atau Kresna Life, sebenarnya tetap memiliki hikmah tersirat yang bisa menjadi bahan renungan bersama, dan menjadi bekal peningkatan literasi bagi semua pihak.
Bukan hanya untuk masyarakat umum, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan para pelaku industri asuransi eksisting pun harus peka dan belajar dari fenomena tersebut. Jangan sampai, kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi telanjur semakin luntur seiring berjalannya waktu.
"Sebagai contoh, asuransi gagal bayar semuanya memiliki masalah tata kelola atau GCG [good corporate governance] yang tidak berjalan dengan baik. Hal mendasar yang terjadi di asuransi jiwa terutama tidak ada pengawasan ketat terhadap investasi atas dana nasabah. Pengawasan internal lemah, pengawasan dari OJK pun belum optimal," ujarnya kepada Bisnis, Sabtu (10/12/2022).
Menurut Kapler, saat ini OJK terbilang cukup peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di industri dan patut mendapat dukungan untuk bisa membuat sektor perasuransian kembali tumbuh secara sehat, kuat dan terpercaya. Buktinya, saat ini beberapa kasus perusahaan asuransi gagal bayar tengah memasuki fase antiklimaks dan berjalan ke arah lebih baik. Hanya saja, menurut Kapler masih ada beberapa keputusan OJK terkait industri asuransi yang masih perlu menjadi catatan.
"Saya melihat OJK sudah cukup peka. Harapannya, OJK mau terus mendengar pendapat dari semua pihak. Adapun, catatan yang bisa menjadi bahan renungan, misalnya reformasi produk unit-linked masih setengah-setengah. Selain itu, keputusan memberi izin kepada perusahaan asuransi kerugian untuk menjual unit-linked pun terbilang keliru. OJK harusnya saat ini fokus membenahi asuransi jiwa dulu," tambahnya.
Baca Juga
Kapler menekankan bahwa setiap produk asuransi dikaitkan investasi (PAYDI) yang keluar nantinya, jangan lagi masih memberikan peluang terjaidnya gagal bayar. Pemilihan instrumen investasi atas dana nasabah benar-benar harus ditempatkan dengan benar dan pengawasan harus super ketat.
Selain itu, Kapler pun melihat masih perlu ada langkah nyata terkait peningkatan kualitas agen, penataan ulang terkait beberapa kerja sama antara suatu perusahaan asuransi dengan pihak lain, serta penanganan dan pengkajian terhadap biaya akuisisi yang saat ini terlampau besar.
Perhatian Publik dan Proses Edukasi
Beberapa kasus gagal bayar telah membuka mata publik akan pentingnya berpikir secara matang, sebelum memutuskan membeli suatu produk asuransi. Artinya, tetap ada sisi positif, di mana perhatian publik turut membuahkan suatu proses edukasi.
"Kita bisa lihat perjuangan nasabah asuransi dalam memperjuangkan hak-haknya, dan kita juga bisa melihat siapa atau pihak mana yang betul-betul yang peduli akan perjuangan mereka. Kita menjadi semakin paham, apa saja akar masalah yang bisa membuat suatu perusahaan asuransi itu goyang," jelasnya.
Contohnya, beberapa kasus yang sempat menyita perhatian publik dan bisa menjadi pelajaran bersama bagi masyarakat, regulator, dan pelaku industri, yaitu gagal bayar AJB Bumiputera 1912 dan PT Asuransi Jiwa Kresna (Kresna Life).
Sebagai gambaran, saat ini kedua perusahaan masih dalam sanksi Pembekuan Kegiatan Usaha (PKU) oleh OJK. Regulator pun masih berproses menunggu dokumen resmi soal rencana penyehatan keuangan mereka ke depan.
Secara singkat, gagal bayar Kresna Life merupakan buah dari tata kelola yang tak sesuai ketentuan, pelanggaran hukum dari pucuk pimpinannya, sampai akhirnya berujung ketidaksiapan dalam menyediakan dana untuk membayar klaim di masa krisis.
Sementara itu, Bumiputera yang merupakan saru-satunya perusahaan asuransi mutual di Indonesia, telah menjalani kondisi tidak sehat selama bertahun-tahun yang berawal dari konflik kepentingan internal perusahaan, yaitu antara Badan Perwakilan Anggota (BPA) dengan jajaran direksi dan manajemen.
Konflik kepentingan tersebut pada akhirnya membawa tata kelola yang buruk dan kewajiban klaim yang terus menumpuk. Inilah kenapa saat ini titik terang bagi pemegang polis mulai terasa setelah jajaran BPA anyar terbentuk dan disetujui OJK pada pertengahan 2022.
Adapun, contoh terbaru saat ini juga tergambar dari kasus WanaArtha Life atau WAL (PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha) yang perizinannya baru saja dicabut OJK.
Masalah WAL bukan hanya karena adanya kasus hukum dari tata kelola manajemen yang tidak baik, namun juga karena mereka sempat memaksakan diri bermain di produk-produk yang sebenarnya tidak sehat secara bisnis.
Adapun, kasus WAL sebenarnya juga membuka mata semua pihak sebagai bahan edukasi berkaitan proses hukum akan asuransi bermasalah. Terutama, sesuai Peraturan OJK (POJK) No. 28/2015 tentang Pembubaran, Likuidasi, dan Kepailitan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Resuransi, dan Perusahaan Resuransi Syariah.
Sesuai ketentuan, setelah izin dicabut OJK, dalam waktu 30 hari direksi harus menggelar Rapat Umum Pemegang Saham dan menyusun neraca penutupan dalam 15 hari. Apabila tidak terlaksana, di tengah kondisi WAL di mana pemilik melarikan diri dan manajemen berniat mundur, maka OJK akan menunjuk akuntan publik dan membentuk tim likuidasi.
Oleh karena itu, kepailitan merupakan jalan terbaik untuk melindungi kepentingan nasabah WAL. Pasalnya, sesuai undang-undang tentang asuransi, pemegang polis tetap merupakan pihak yang perlu diutamakan ketimbang kreditur lain, seperti gaji pegawai, bank, bahkan pajak, dengan hitungan proporsional sesuai hasil kekayaan tersisa.
Sebagai perbandingan, penyelesaian kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) sebenarnya memiliki lini masa yang hampir serupa WAL. Bedanya, pemerintah selaku pemegang saham Jiwasraya memilih upaya penyelamatan lewat restrukturisasi polis.
Terkini, pemerintah pun membentuk PT Asuransi Jiwa IFG (IFG Life) sebagai wadah pengalihan polis nasabah Jiwasraya, sehingga nasabah lebih mendapat kepastian akan pembayaran manfaat dan klaim.
"Artinya, kasus gagal bayar telah terjadi pada semua jenis perusahaan asuransi, mulai dari BUMN, mutual, maupun swasta-nasional. Saat ini literasi dan inklusi asuransi masih rendah. Jangan sampai para stakeholders tidak belajar dari pengalaman-pengalaman itu, sehingga penetrasi asuransi semakin sulit meningkat secara signifikan dan demand of insurance semakin rendah," tambahnya.
Pelajaran Bagi Asuransi Lain
Kapler menambahkan bahwa pelajaran berharga juga harus diambil oleh para perusahaan asuransi lain, yang sat ini masih bertahan. Terutama soal pentingnya untuk terus menerapkan tata kelola yang baik, menjaga kinerja keuangan yang sehat, dan mulai lebih efisien terkait beban operasional.
Barangkali hal itu juga yang membuat isu pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan dari sektor perasuransian cenderung menguat. PHK menjadi keniscayaan karena tekanan efisiensi untuk menjawab tantangan kondisi ekonomi, urgensi transformasi digital, serta memperbarui pengelolaan risiko terkini sesuai dinamika yang ada.
"PHK itu memang masalah dilematis, apalagi kalau dikaitkan dengan aspek sosial. Saya yakin rata-rata perusahaan besar tidak mudah untuk mengambil keputusan PHK. Tetapi dalam kondisi penyehatan suatu perusahaan, ada kalanya PHK tidak terhindarkan. Terpenting, PHK itu tidak boleh mengabaikan hak-hak karyawan," ujarnya.
Selain itu, penting agar setiap perusahaan asuransi memperkuat komitmen terhadap prinsip-prinsip jasa asuransi yang mendasar dan fundamental, yaitu Utmost Good Faith, Insurable Interest dan Indemnity.
"Perusahaan asuransi memberikan janji akan adanya ganti rugi, santunan dan manfaat, atau sejumlah uang tertentu pada saat tertentu. Nyatanya, ada yang ingkar janji. Padahal, keberadaan industri asuransi sangat tergantung kepercayaan nasabah. Oleh karena itu, pelaku asuransi nasional sudah saatnya sama-sama berbenah," tutup Kapler