Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ambil Pelajaran dari Bangkrutnya SVB, BNI (BBNI) Andalkan Diversifikasi Aset

BNI berupaya terus melakukan diversifikasi aset di tengah keuruntuhan Silicon Valley Bank (SVB) dan kekhawatiran akan dampak yang mengikutinya. 
Kantor PT Bank Negara Indonesia di Jakarta, Senin (13/12/2021). Bloomberg-Dimas Ardian
Kantor PT Bank Negara Indonesia di Jakarta, Senin (13/12/2021). Bloomberg-Dimas Ardian

Bisnis.com, JAKARTA — PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau BBNI berupaya terus melakukan diversifikasi aset di tengah keuruntuhan Silicon Valley Bank (SVB) dan kekhawatiran akan dampak yang mengikutinya. 

Direktur Finance BNI Novita Widya Anggraini mengatakan secara eksposur, BNI memang tidak terkait bisnis dengan SVB. Alhasil, dampak bangkrutnya bank di Amerika Serikat (AS) itu minim.

"Namun, apa yang terjadi di SVB ini memang kita perlu belajar," kata Novita dalam konferensi pers rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) BNI pada Rabu (15/3/2023).

Menurutnya BNI mempunyai fundamental bisnis yang kuat. Rasio kecukupan permodalan atau capital adequacy ratio (CAR) ada pada level 19,3 persen per 31 Desember 2022. "Angkanya lebih tinggi juga dibandingkan bank-bank global lainnya," kata Novita.

Likuiditas perseroan juga menurutnya dalam posisi yang stabil. Rasio kecukupan likuiditas atau liquidity coverage ratio (LCR) BNI per 31 Desember 2022 ada di level 219 persen. "Jauh di atas persyaratan aturan otoritas," ujarnya.

Dari sisi liabilitas, Novita juga mengatakan kepercayaan deposan di dalam negeri masih kuat terhadap kondisi perseroan. 

Kemudian, dari sisi aset, perseroan berupaya tetap melakukan diversifikasi untuk mengurangi risiko konsentrasi. Ia mengatakan, 80 persen aset BNI terdiri dari kredit. Kemudian, hanya 20 persen aset BNI yang berupa obligasi.

Komposisi obligasi di BNI sendiri 94 persennya merupakan obligasi pemerintah. Ia mengatakan tenor obligasi itu pun pendek. "Jadi risikonya rendah. Kami pun selalu lakukan mitigasi risiko," ujarnya.

Gangguan risiko konsentrasi memang menjadi salah satu kendala pada bank AS yang baru-baru ini runtuh, SVB. Bank yang didirikan pada 1983 itu memiliki spesialisasi pembiayaan ke startup berbasis teknologi. Portofolio separuhnya dialokasikan ke startup dan layanan kesehatan Amerika.

Bangkrutnya SVB juga terimbas kenaikan suku bunga secara agresif. Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuan sejak tahun lalu untuk menekan lonjakan inflasi. Kenaikan suku bunga merupakan momok menakutkan bagi perusahaan rintisan yang menjadi portofolio andalan SVB.

Pemodal berpaling untuk menambah investasi di startup. Akibatnya, perusahaan menarik dananya di SVB untuk memenuhi likuiditas.

Bank ini akhirnya dilaporkan bangkrut pada Jumat (10/3/2023) pagi waktu setempat usai gagal mengumpulkan dana tambahan sebesar US$2,25 miliar dalam 48 jam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper