Bisnis.com, JAKARTA - Isu penarikan dana besar-besaran dari bank oleh para nasabah, atau akrab disebut rush money alias bank run, kerap mengemuka di tengah kondisi krisis. Lantas, seberapa kuat bank-bank di Tanah Air mampu mencegah potensi gejolak tersebut.
Sebagai gambaran, bank run biasanya mengemuka akibat munculnya kepanikan di kalangan masyarakat. Antara lain, disebabkan buruknya kinerja bank itu sendiri, kegagalan berbagai pihak berkaitan industri perbankan dalam mengelola persepsi publik, atau didorong fenomena instabilitas kondisi ekonomi dan politik suatu negara.
Pada lanskap perbankan global, Silicon Valley Bank (SVB) dan Credit Suisse merupakan contoh teranyar soal betapa sulitnya mengatasi isu bank run di tengah era media sosial dan keterbukaan informasi.
Terkhusus Indonesia, isu bank run biasanya muncul selepas terjadi gejolak politik. Terlebih, apabila mulai muncul oknum-oknum yang sengaja memainkan sisi psikologis masyarakat, memanfaatkan kondisi masyarakat Tanah Air yang notabene masih rapuh dan kerap mudah percaya dengan hoaks.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin berpendapat bahwa potensi gejolak akibat isu bank run pada lanskap perbankan di Indonesia terbilang terus menipis, sejalan dengan membaiknya literasi keuangan masyarakat dan semakin ketatnya pengawasan otoritas terhadap industri perbankan.
"Saya rasa edukasi soal industri perbankan di Tanah Air sudah sangat baik. Selain itu, industri sudah jauh lebih transparan ketimbang era terakhir kali bank run berdampak besar bagi Indonesia, yaitu pada 1997-1998," ujarnya kepada Bisnis, Jumat (14/4/2023).
Baca Juga
Sebagai bukti, berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2022 oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap 14.634 responden, total indeks literasi mencapai 49,68 persen, meningkat ketimbang periode 2019 di 38,03 persen.
Terkhusus literasi terhadap sektor perbankan, tercatat masih menjadi yang tertinggi ketimbang sektor jasa keuangan lain, yakni mencapai 49,93 persen, juga naik dari periode sebelumnya atau SNLIK 2019 yang ketika itu hanya 36,12 persen.
Selain itu, menurut Amin, adanya mandat pelaporan kinerja berkala bagi seluruh bank di Indonesia merupakan indikator penting bagi nasabah dalam rangka mempermudah pengawasan publik. Alhasil, ketika isu bank run kembali mengemuka ke depannya, minimal nasabah tidak akan terlalu emosional dan bisa berpikir dengan kepala dingin.
Mengelola Persepsi Publik
Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Lana Soelistianingsih menjelaskan bahwa kasus SVB bisa menjadi pelajaran berharga bagi perbankan di Tanah Air dari sisi pentingnya meningkatkan kemampuan mengelola persepsi publik.
Pasalnya, sumber masalah bank run dalam kasus SVB bukan semata-mata karena salah strategi pengelolaan aset dari manajemen, yang sialnya turut dibarengi dampak eksternal, seperti kenaikan suku bunga acuan dan tech-winter. Namun, masalah juga diperparah dengan ketidakmampuan SVB menyelaraskan persepsi publik dengan ekspektasi regulator beserta aturan-aturannya.
"Menjaga confidence nasabah memang perlu dibangun. Indonesia sendiri pernah punya pengalaman 16 bank dilikuidasi di 1997. Kemudian, ternyata nasabah bank lain pun ikut-ikutan menarik dananya, karena menganggap dana mereka tidak aman. Itu contoh soal pentingnya mengelola persepsi publik," ujarnya dalam diskusi virtual LPPI bertajuk 'Lesson Learned Kasus SVB'.
Lana menyebut bahwa secara umum otoritas fiskal dan moneter juga merupakan garda depan penjaga persepsi publik dalam rangka mencega isu bank run, meliputi Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, beserta OJK dan LPS.
Namun, bank bersangkutan juga harus bisa menjaga kredibilitasnya di mata publik. Memastikan pengelolaannya sehat, memiliki manajemen risiko terukur, dan mampu mengomunikasikan strateginya dalam menjaga likuiditas.
Sebagai informasi, LPS yang lahir sebagai lembaga yang salah satu tujuannya untuk mencegah isu bank run di Indonesia, saat ini pun telh melakukan penjaminan simpanan terhadap 106 bank umum dan 1.598 BPR/BPRS.
Simpanan dijamin oleh LPS maksimal Rp2 miliar per nasabah per bank, di mana saat ini rekening yang dijamin penuh mencapai 582,42 juta rekening di bank umum (99,94 persen dari total) dan 15,13 juta rekening di BPR/BPRS (99,98 persen dari total).
Senada, Deputi Komisioner Pengawas Bank Pemerintah dan Syariah merangkap Plt. Deputi Komisioner Regional OJK Bambang Wdjanarko menjelaskan bahwa jangan sampai perbankan di Tanah Air terkena isu bank run akibat lemah dalam mengendalikan reputation risk seperti SVB.
"Pada saat itu, manajemen SVB secara terbuka mengumumkan menambah suntikan modal di tengah kerugian yang dialami. Kelemahan komunikasi yang tidak pas pada saat itu, akhirnya berdampak terhadap penarikan dana pihak ketiga [DPK]," ujarnya.
Dalam diskusi tersebut turut hadir Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) Royke Tumilaar yang menjelaskan bahwa setidaknya ada empat pelajaran yang bisa dipetik dari fenomena SVB dan segelintir perbankan global yang terdampak isu bank run.
Salah satunya, Royke mengakui risiko reputasi harus ditangani dengan strategi komunikasi yang tepat, serta telah dipersiapkan untuk segala kondisi.
"Karena di mana pada suatu situasi tertentu bank tidak bisa mengomunikasikan dengan baik, akan direspons negatif oleh kreditur dan investor. Ini akan berdampak buruk pada institusi. Jadi komunikasi memiliki peran penting bagi perbankan, untuk hati-hati, terutama ketika melakukan suatu aksi korporasi," jelasnya.
Royke juga menyoroti penanganan risiko konsentrasi yang harus ditopang dengan strategi tepat oleh setiap bank, yakni mencegah mismatch antara aset dan liabilitas, juga memperkuat liquidity contingency funding plan. Kemudian, pentingnya merancang mitigasi terhadap risiko pasar, terutama berkaitan potensi munculnya kebijakan moneter yang ekstrem.
Selain itu, menurut Royke, pelajaran berharga lain soal cara menjaga likuiditas apabila bank mengalami kondisi seperti SVB, salah satunya soal pentingnya mulai merancang strategi penjualan aset-aset kredit, yang dalam kondisi tertentu bisa dilakukan walaupun terpaksa.