Bisnis.com, JAKARTA – Isu redenominasi rupiah kembali mencuat. Hal tersebut menimbulkan wacana terkait sanering. Padahal, sanering dan redenominasi merupakan dua hal yang berbeda, namun sama-sama berkaitan dengan mata uang.
Lantas, apa sebenarnya makna dari sanering? Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) milik Kemendikbudristek, sanering memiliki arti secara harfiah, yaitu pemotongan uang.
Sementara melansir dari laman resmi Kementerian Keuangan (Kemenkeu), sanering merupakan pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.
Sebagai contoh sanering, semisal uang Rp5.000 kemudian diturunkan nilainya menjadi Rp500. Jika sebelumnya harga semangkuk soto dibanderol Rp5.000, setelah dilakukan sanering maka harga bakso tersebut tetap sama.
Artinya, masyarakat perlu menyiapkan uang lebih tebal untuk dapat membeli semangkuk soto. Dengan kata lain, masyarakat merogoh kocek 10 kali lipat dari biasanya untuk mendapatkan semangkuk soto.
Adapun, sejarah sanering atau pemotongan (nilai) uang di Indonesia, pernah terjadi pada Agustus 1959. Saat itu, uang pecahan Rp500 dan Rp1.000 rupiah diturunkan nilainya menjadi Rp50 dan Rp100. Dengan kata lain, nilai uang dipangkas hingga 90 persen.
Baca Juga
Definisi Redenominasi
Dikutip dari situs ui.ac.id, redenominasi adalah proses menggelindingkan nol (0) dari nominal rupiah yang ada, dengan kata lain penyederhanaan nominal mata uang rupiah. Redenominasi biasanya dilakukan dalam kondisi ekonomi yang stabil dan menuju ke arah yang lebih sehat.
Dalam redenominasi, baik nilai uang maupun barang, hanya dihilangkan beberapa angka nolnya saja. Dengan demikian, redenominasi akan menyederhanakan penulisan nilai barang dan jasa yang diikuti pula penyederhanaan penulisan alat pembayaran (uang).
Sebagaimana rencana Kementerian Keuangan maupun Bank Indonesia (BI), untuk menyederhanakan rupiah dengan menghilangkan tiga nol, misal Rp1.000 menjadi Rp1, tanpa memangkas nilainya.
BI memberi bocoran bahwa redenominasi belum akan dilakukan dalam waktu dekat. Menanggapi video yang beredar di masyarakat yang menyatakan bahwa redenominasi sudah siap dilakukan, BI menyampaikan bahwa informasi tersebut tidaklah benar.
“Video terkait redenominasi yang beredar tersebut, dipastikan bulan bersumber dari BI. Visual uang yang ditampilkan dalam video tersebut dapat dipastikan bukan uang rupiah resmi yang diedarkan BI,” tulis BI melalui akun Instagram @bank_indonesia, dikutip Kamis (6/7/2023).
BI menyatakan bahwa implementasi redenominasi masih perlu melihat momentum yang tepat dan belum akan direalisasikan dalam waktu dekat. Beberapa faktor yang dipertimbangkan, yaitu kondisi makroekonomi, kondisi moneter dan sistem keuangan, serta kondisi politik yang kondusif.
Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Abdurohman menyampaikan bahwa pelaksanaan redenominasi di Indonesia harus menunggu momentum yang tepat.
“Dari sisi global kan risikonya masih berat,” katanya usai menghadiri Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (4/7/2023).