Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom Ramal Suku Bunga BI Turun ke 4,5 Persen Mulai Kuartal II/2024

Proyeksi ini dipengaruhi ekspektasi pasar tentang suku bunga acuan the Fed dalam membentuk pandangan pasar global dan nasional terkait kebijakan suku bunga.
Gedung Bank Indonesia./ Bloomberg
Gedung Bank Indonesia./ Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro menyampaikan Bank Indonesia (BI) kemungkinan akan melakukan pemangkasan suku bunga acuan mulai kuartal II/2024. 

Sebagai informasi, Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan atau BI-7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) di 5,75 persen didasari pada inflasi yang relatif masih rendah.

Menurut pria yang kerap disapa Asmo itu, ekspektasi pasar tentang suku bunga acuan the Fed berperan penting dalam membentuk pandangan pasar global dan nasional terkait kebijakan suku bunga. 

Hingga Maret 2024, mayoritas ekspektasi pasar masih memproyeksikan suku bunga acuan the Fed akan tetap berada pada tingkat 5,5 persen. Meskipun ada kemungkinan kenaikan suku bunga, peningkatan tersebut akan terbatas hanya hingga 5,75 persen. Kemudian, pada Mei 2024 ada ekspektasi penurunan the Fed. 

Overall sebenarnya Fed Fund Rate kalau naikpun tinggal sekali lagi di 5,75 persen. Kita lihat masih kecil perkembangan atau probabilitas ke arah 6 persen. Dan kalau kita lihat di closing-nya di tahun 2024 market itu ekspektasinya sampai sekarang yaitu di 4,5 persen, jadi ini selalu bergerak” katanya dalam Media Gathering & Presentasi Macroeconomic Outlook, Selasa (22/8/2023). 

Dia juga menyoroti pentingnya "guidance" dari the Fed sebagai petunjuk bagi investor dan pelaku pasar. 

Lebih lanjut, Asmo mengatakan The Fed sendiri, memiliki target kenaikan hingga 5,75 persen. Kemudian pada 2024 turun ke level 4,75 persen dan pada 2025 turun sebanyak 125 basis poin (bps) ke level 3,5 persen. Alhasil, mid dan long run itu berada di 2,5 persen. 

Menurutnya, jika the Fed memberikan sinyal suku bunga telah cukup tinggi pada level 5,75 persen, hal ini dapat memberikan keyakinan kepada investor untuk mengalihkan aliran modal ke emerging markets, termasuk Indonesia, meskipun kemungkinan penurunan suku bunga baru akan terjadi pada pertengahan 2024.

“Jika skenario ini menjadi kenyataan, hal ini memiliki potensi untuk menarik aliran modal ke pasar keuangan negara-negara berkembang, emerging market,” sebutnya. 

Sebaliknya, jika The Fed pada September nanti kembali merevisi target kenaikan suku bunga acuannya, maka, ini tentu saja merupakan risiko yang cukup besar.

“Walaupun sampai sejauh ini belum ada yang memproyeksikan seperti itu. Belum banyak. Tetapi kalau misalnya dari 5,75 persen dinaikkan lagi, sebesar 50 basis ke 6,25 persen, tentu saja ini akan mengubah banyak proyeksi terutama nilai tukar, kemudian arah dari benchmark rate-nya sendiri. Jadi, kalau seperti itu tentu saja ada tendesi untuk menyamakan rate-nya. Bisa saja BI Rate-nya kemudian disesuaikan kembali,” ujarnya.

Sebagai informasi, tingkat inflasi merupakan game changer yang mendukung pertumbuhan dan stabilitas sektor keuangan. 

Inflasi semakin terkendali meskipun tantangan El Nino dapat meningkatkan potensi gangguan supply pangan. Hingga bulan Juli, inflasi tercatat sebesar 3,08 persen year-on-year dan telah kembali dalam target Bank Indonesia di kisaran 2 persen sampai 4 persen. 

“Nowcasting kami menunjukkan tingkat inflasi Indonesia dapat berada pada retang 3 persen sampai 3,2 persen di akhir tahun 2023 (lebih baik dibandingkan proyeksi awal kami di 3,6 persen) dengan strategi pengelolaan pasokan pangan yang baik,” kata Asmo.

Sementara itu, dari segi neraca perdagangan Indonesia, meskipun terus turun, masih mencatat surplus. Di mana, selama tujuh bulan pertama pada tahun 2023, surplus neraca perdagangan tercatat sebesar US$21,2 miliar, menurun dibandingkan surplus pada periode yang sama tahun lalu sebesar USD29,1 miliar. 

Faktor penentunya ada pada perkembangan harga komoditas terutama Batubara dan CPO (Sawit) yang masih jauh di atas periode pre-pandemi. Dengan kinerja neraca perdagangan tersebut, kami perkirakan Neraca TransaksiBerjalan (NTB) atau Current Account Balance akan kembali mencatat defisit 0,65% dari PDB tahun 2023.

Aliran modal asing kembali masuk ke dalam pasar obligasi Indonesia seiring optimisme fundamental ekonomi Indonesia yang masih sangat baik. Selama semester I tercatat nett buy investor asing di pasar obligasi sebesar Rp84 triliun. 

“Kami percaya investor asing masih akan kembali banyak masuk ke Indonesia pada kuartal IV ketika suku bunga acuan AS (Fed Fund Rate) telah mencapai puncaknya di September,” ungkapnya.

Saat ini kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) mencapai 15,6 persen dari total, lebih tinggi dibandingkan posisi terendahnya di sekitar 14 persen. Pihaknya, melihat potensi yield SBN akan dapat kembali berada di kisaran 6,1 persen hingga  6,3 persen pada 2023 dengan potensi foreign capital inflows tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper