Bisnis.com, JAKARTA— Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mengungkap peluang bursa karbon untuk industri asuransi umum. Diketahui, Presiden Joko Widodo telah resmi meluncurkan Bursa Karbon Indonesia melalui IDXCarbon pada 26 September kemarin.
Direktur Eksekutif AAUI Bern Dwiyanto mengatakan bursa karbon merupakan sebuah peluang bagi industri keuangan termasuk juga industri asuransi umum. Pasalnya menurutnya asuransi pada dasarnya menunjang industri lainnya terutama dalam hal perencanaan dan mitigasi risiko.
“Memang sudah banyak ya kita mendengar mengenai ini, dan ini merupakan sebuah peluang bagi industri keuangan termasuk juga di sektor industri asuransi umum pastinya,” kata Bern kepada Bisnis, Rabu (27/9/2023).
Industri asuransi dapat berperan penting dalam melindungi para peserta bursa karbon dari risiko iklim hingga faktor lain yang bisa mempengaruhi karbon kreditnya. Kendati demikian, Bern mengungkap adanya tantangan untuk menangkap peluang tersebut.
Terlebih pembahasan mengenai asuransi perdagangan karbon ini masih sangat terbatas di Indonesia.
“Di samping itu infrastruktur dan regulasi yang mendukung implementasi asuransi perdagangan karbon ini pastinya perlu disiapkan dengan baik,” imbuhnya.
Bern mengungkap bahwa diperlukan studi, kajian, dan diskusi mendalam untuk mendukung hal tersebut. Dengan demikian, nantinya dapat disepakati aturan-aturan dan skema-skema apa yang terbaik yang dapat diberikan untuk mendukung asuransi bursa karbon.
Di sisi lain, Direktur Teknik Operasi Indonesia Re Delil Khairat mengungkap potensi asuransi dalam transisi menuju ekonomi hijau (green economy). Menurutnya proses transisi yang memerlukan invetasi dan inovasi yang besar tersebut memerlukan proteksi asuransi.
“Jadi dalam hal ini merupakan opportunity [peluang] industri asuransi untuk mengcover proyek-proyek transisi [energi] dunia dari brown ke green economy ini,” kata Delil kepada Bisnis, Senin (18/9/2023).
Namun, Delil mengatakan dari perspektif risiko hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan. Pasalnya investasi terkait dengan transisi ke energi terbarukan merupakan risiko yang dianggap tinggi.
Dia mengatakan hal tersebut lantaran tidak tersedianya statistik di masa lalu dan pemahaman industri asuransi terhadap risiko tersebut masih rendah.
“Misalnya saja mesin [dengan energi terbarukan] baru tersedia prototipe, sehingga belum diketahui ketahananya dan sebagainya,” katanya.
Tidak hanya itu, Delil juga menyebutkan premi yang dikenakan juga akan semakin tinggi. Selain itu nafsu industri asuransi untuk melindungi risiko tersebut masih rendah.
Akibatnya tidak mudah bagi pemerintah dan industri yang berinvetasi di transisi energi ini untuk mendapatkan perlindungan asuransi. “Hal ini perlu diselesaikan saat ini,” katanya.