Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dolar AS Kian Perkasa, Rupiah Keok di Ambang Rp16.000

Nilai tukar rupiah keok hingga berada di ambang level Rp16.000. Dolar AS dan suku bunga The Fed jadi biang keroknya.
Karyawan menghitung dolar AS di Jakarta, Rabu (18/11/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan menghitung dolar AS di Jakarta, Rabu (18/11/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Melemahnya kinerja nilai tukar rupiah menjadi sorotan beberapa hari terakhir. Bahkan, rupiah kini “keok” hingga berpotensi mendekati level Rp16.000 per dolar AS.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hari ini, Rabu (4/10/2023) berisiko kembali melemah seiring dengan nada hawkish Federal Reserve (The Fed) terkait suku bunga acuan.

Berdasarkan catatan Bisnis, rupiah ditutup melemah 50 poin atau 0,32 persen menjadi Rp15.580 per dolar AS kemarin Selasa (3/10/2023). Adapun, Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Selasa turut melemah ke posisi Rp15.600 dari sebelumnya Rp15.519 per dolar AS.

Kabar baiknya, mata uang Garuda bukan satu-satunya yang keok akibat keperkasaan dolar AS. Bersama mata uang Asia lainnya, rupiah terus tertekan. Indeks dolar AS naik yang naik 0,12 persen ke level 107,027.

Misalnya adalah yen Jepang yang melemah tipis 0,01 persen atau 0,02 poin ke level 149,88. Diikuti oleh dolar Taiwan yang melemah 0,29 persen, won Korea anjlok 0,67 persen.  Lalu ada peso Filipina turun 0,16 persen, ringgit Malaysia turun 0,15 persen, baht Thailand turun 0,43, serta dolar Singapura yang melemah 0,10 persen. 

Sedangkan mata uang yang menguat di hadapan dolar AS adalah yuan China yang terpantau naik 0,19 persen, rupee India menguat 0,18 persen, serta dolar Hong Kong menguat ke 0,0003 poin ke level 7,83. 

Dolar AS Kian Perkasa, Rupiah Keok di Ambang Rp16.000

Dampak Ekonomi AS 

Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menyatakan Rupiah mengalami pelemahan setelah data ekonomi Amerika Serikat (AS) yang kuat mendukung pandangan Federal Reserve mempertahankan suku bunga lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama atau higher for longer.

Pasalnya, data indeks Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS dari The Institute for Supply Management (ISM) pada September 2023 menunjukkan pemulihan naik ke angka indeks 49,0 dari sebelumnya 47,7.

“Manufaktur AS mengambil langkah lebih jauh menuju pemulihan pada September 2023 karena produksi meningkat dan lapangan kerja pulih,” ujarnya dalam keterangan resmi yang dikutip Rabu (4/10/2023).

Sejumlah data ekonomi AS yang kuat selama beberapa pekan terakhir telah memperkuat ekspektasi The Fed bakal mempertahankan kenaikan suku bunga untuk jangka waktu yang lebih lama. Beberapa pembuat kebijakan memperingatkan risiko pengetatan lebih lanjut jika inflasi tidak terus melambat seperti yang diperkirakan.

“Imbal hasil Treasury AS juga memberi dorongan pada dolar, melonjak karena rilis data yang optimis, serta kesepakatan di menit-menit terakhir yang mencegah penutupan pemerintah,” ungkap Ibrahim.

Sementara itu, Pengamat Pasar Uang Ariston Tjendra, pengaruh dari ekspektasi suku bunga tinggi akan berlanjut hingga akhir tahun menimbang The Fed akan mengeluarkan kebijakan penting pada Desember 2023.

Ekspektasi suku bunga tinggi turut didukung data ekonomi AS, terutama data inflasi AS yang belum menurun ke arah target 2 persen.

“Sentimen pasar terhadap suku bunga tinggi masih tinggi hingga akhir tahun. Ini bisa di-counter bila data ekonomi AS menunjukkan inflasi dan kondisi ketenagakerjaan menurun,” ujarnya dikutip dari Antara.

Pemerintah merespon pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang sempat menembus lebih dari Rp15.610 pada Selasa (3/10/2023). Senada dengan analis, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan hal tersebut disebabkan menguatnya ekonomi di AS.  

“[Penyebab rupiah melemah terhadap dolat] Ya, kan perekonomian Amerika menguat,” ujarnya usai Rapat Koordinasi Nasional Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (Rakornas P2DD) 2023, Selasa (3/10/2023).

Sinyal Hawkish The Fed

Penguatan dolar AS didorong oleh sikap hawkish dari The Fed. Sebelumnya, Presiden Federal Reserve (The Fed) Bank of Cleveland Loretta Mester mengatakan bahwa bank sentral AS kemungkinan perlu menaikkan suku bunga sekali lagi tahun ini dan kemudian mempertahankannya pada tingkat yang lebih tinggi untuk beberapa waktu untuk mengembalikan inflasi ke target 2 persen. 

Namun, Mester mengatakan bahwa keputusan akhir akan bergantung pada bagaimana perkembangan ekonomi global. Hal itu, kata dia, merujuk pada perlambatan di China, kemungkinan pemogokan yang diperpanjang oleh anggota serikat pekerja United Auto Workers, dan potensi penutupan pemerintah (government shut down) sebagai risiko-risiko terhadap prospek inflasi dan pertumbuhan.

Dia menduga mungkin The Fed perlu menaikkan suku bunga atau Fed Funds Rate sekali lagi tahun ini dan kemudian menahannya untuk beberapa waktu. 

Sementara itu, The Fed akan mengumpulkan lebih banyak informasi mengenai perkembangan ekonomi dan menilai dampak dari pengetatan kondisi keuangan yang telah terjadi. 

"Apakah Fed Funds Rate perlu naik lebih tinggi dari level saat ini? Untuk berapa lama kebijakan harus tetap ketat akan tergantung pada bagaimana perkembangan ekonomi relatif terhadap prospek?" katanya Mester dalam sambutan yang disiapkan untuk sebuah acara yang diselenggarakan oleh 50 Club of Cleveland, sekelompok pemimpin bisnis dan pengacara dikutip dari Bloomberg, Selasa (3/10/2023).

Mester, yang tidak memberikan suara untuk kebijakan moneter tahun ini, mengatakan bahwa tingkat inflasi AS masih terlalu tinggi dan risikonya masih "condong ke arah atas."

Menurutnya, kenaikan harga gas sangat beresonansi dengan para konsumen, yang dapat mengharapkan inflasi untuk mulai meningkat lagi.

Para pejabat the Fed bulan lalu membiarkan kisaran target suku bunga acuan tidak berubah pada 5,25 persen sampai 5,5 persen, level tertinggi dalam 22 tahun terakhir.

Proyeksi yang dipublikasikan pada saat yang sama menunjukkan 12 dari 19 pembuat kebijakan memperkirakan satu kenaikan suku bunga lagi untuk tahun ini, dan lebih sedikit penurunan suku bunga pada tahun 2024 daripada yang diantisipasi sebelumnya, sebagian karena prospek yang lebih baik untuk pasar tenaga kerja.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper