Bisnis.com, JAKARTA — Beberapa perusahaan reasuransi nasional mencatatkan penurunan Risk Based Capital (RBC) pada kuartal III/2023. Penurunannya rata-rata tak terlalu signifikan hanya di bawah 10%.
Namun ada juga yang penurunannya mencapai 64,6% yakni PT Indoperkasa Sukses Jaya Reasuransi (Inare), yang mencatatkan RBC 393,96% dari sebelumnya 1113,96% pada kuartal III/2023.
Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA) Abitani Taim menilai bahwa naik turunnya RBC perusahaan reasuransi merupakan hal yang wajar. Menurutnya hal tersebut tidak menjadi masalah apabila semuanya termonitor dengan baik dan tidak menyentuh batas internal perusahaan dan minimum RBC sesuai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yakni 120%.
“Penurunan RBC harus juga dilihat dari sudut pertumbuhan bisnis perusahaan, semakin bertumbuh, semakin besar juga kewajibannya cadangan teknis yang harus disiapkan perusahaan,” kata Abitani kepada Bisnis, akhir pekan lalu (16/11/2023).
Terlebih RBC merupakan ukuran kesehatan keuangan perusahaan asuransi di mana perusahaan dianggap dapat melunasi kewajibannya apabila dilikuidasi pada saat itu. Namun demikian, Abitani mengingatkan penurunan RBC yang disertasi dengan penurunan keuntungan dan ekuitas secara terus menerus merupakan tanda bahaya bagi perusahaan asuransi atau reasuransi.
Dia meyakini bahwa setiap perusahaan reasuransi maupun asuransi tentunya memiliki mekanisme sistem peringatan dini yang senantiasa memonitor indikator kesehatan keuangannya, serta mekanisme eskalasi penyelesaiannya sampai ke pemegang saham perusahaan
Baca Juga
“Peran aktif pemegang saham pengendali menjadi sangat penting dalam penyelesaian masalah kesehatan keuangan secara keseluruhan,” ungkap Abitani.
Sementara itu, Dosen/Praktisi Manajemen Risiko, dan Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) Wahyudin Rahman melihat bahwa penurunan RBC dikarenakan luka lama.
Luka lama tersebut merupakan klaim-klaim yang terjadi sebelumnya terutama dan didominasi dari klaim asuransi jiwa kredit dalam kurun waktu 2020 sampai dengan 2022.
“Baik yang masih outstanding dan settle yang menimbulkan utang klaim besar,” kata Wahyudin saat dihubungi Bisnis, Kamis (16/11/2023).
Wahyudin mengatakan faktor lain dapat disebabkan oleh aset yang diperkenankan khusus return atau imbal investasi yang belum stabil. Sebagai langkah perbaikan, lanjut dia, perusahaan reasuransi dapat menerima bisnis dengan produk jangka pendek dan memenuhi bilangan besar sebagai bufferin, serta memilih bisnis sesuai risk appetite perusahaan.
“Selain itu, memperkuat proyeksi cadangan untuk produk di atas satu tahun dan manajemen serta komunikasi klaim ke ceding,” ungkap Wahyudin.
Terakhir, Wahyudin menyebut pengelolaan investasi dengan kombinasi return investasi seperti komposisi balancing saham dengan sukuk dan obligasi serta pemanfaatan aset tidak lancar untuk kegiatan produktif juga diperlukan.
Praktisi asuransi dan Direktur Utama PT Asuransi Asei Indonesia Dody Dalimunthe menjelaskan RBC merupakan salah satu indikator keuangan yang digunakan dalam industri asuransi untuk mengukur kesehatan keuangan perusahaan.
Komponen pembentuk RBC perusahaan asuransi maupun reasuransi melibatkan berbagai faktor dan elemen yang dapat mempengaruhi besar kecilnya RBC dalam konteks asuransi.
Pertama aktiva perusahaan, yang melibatkan total nilai dari aset perusahaan, termasuk investasi, kas, dan aset lainnya. Kedua kewajiban perusahaan seperti klaim yang masih harus dibayarkan, utang, dan kewajiban lainnya.
Ketiga risiko underwriting, yang mengukur risiko kegiatan underwriting atau penjaminan, termasuk risiko klaim yang mungkin terjadi.
Keempat risiko investasi, terkait dengan investasi perusahaan, termasuk fluktuasi nilai pasar dan risiko investasi lainnya,
Kelima risiko operasional, seperti risiko manajemen, risiko operasional, dan risiko lainnya. Terakhir risiko kredit, yang terkait dengan kemampuan pihak ketiga seperti reasuransi/retrosesi atau peminjam untuk memenuhi kewajibannya.
“Dengan demikian jika RBC mengalami kondisi naik atau turun pasti disebabkan oleh fluktuasi yang terjadi pada komponen-komponen tersebut,” ungkapnya.
Dody mengatakan yang perlu menjadi perhatian bagi perusahaan asuransi maupun reasuransi adalah jika terjadi penurunan RBC agar tidak berada di bawah ketentuan standar regulasi yakni 120%.
Empat perusahaan yang mengalami penurunan RBC antara lain PT Maskapai Reasuransi Indonesia (Marein), PT Reasuransi Indonesia Utama (Indonesia Re), PT Reasuransi Maipark Indonesia (Maipark), dan PT Indoperkasa Suksesjaya Reasuransi (Inare).
Marein membukukan RBC 230,77% pada kuartal III/2023, angka tersebut turun 2,5% dibandingkan dengan kuartal III/2022 yakni 236,7%. Di sisi lain, tingkat RBC Indonesia Re juga menurun 4,99% menjadi 121,84% pada kuartal III/2023. Padahal perusahaan pelat merah tersebut mampu mencatatkan RBC 128,24% pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Berikutnya ada Maipark yang tingkat kesehatan finansialnya dilihat dari RBC mencapai 1018,90%. Angka tersebut menjadi yang tertinggi di industri sejauh ini. Namun RBC Maipark turun 5,8% dibandingkan dengan kuartal III/2022 yakni 1082,23%.
Terakhir, Inare yang juga mencatatkan penurunan RBC pada kuartal III/2023 menjadi 393,96%. Angka tersebut turun 64,6% dibandingkan dengan kuartal III/2022 yakni 1113,96%.
Sementara itu, PT Tugu Reasuransi Indonesia (Tugure) mencatatkan kinerja positif pada tingkat RBC yang mencapai 209%. Tingkat kesehatan finansial perusahaan meningkat 3,98% dibandingkan kuartal III/2022 yakni 201%.