Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mewanti-wanti adanya kebocoran fraud di institusi kesehatan, mengingat belanja kesehatan nasional yang digelontorkan mencapai Rp569 triliun pada tahun lalu.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menuturkan bahwa pihaknya baru saja melakukan review dari National Health Accounts. Di mana, Budi mengungkapkan belanja kesehatan nasional pada tahun lalu mencapai sekitar Rp569 triliun.
Jika dirinci, Budi menuturkan dari belanja kesehatan nasional senilai Rp569 triliun itu paling besar sekitar Rp212 triliun yang berasal dari out of pocket expenses, yakni pengeluaran yang dilakukan oleh individu langsung.
“Tapi nomor dua yang paling besar adalah BPJS sekitar Rp150-an triliun, estimasi kami sekitar Rp152 triliun—Rp156 triliun. Sisanya, Rp200 triliun itu dibagi-bagi, saya lihat yang paling besar dari perusahaan swasta sekitar Rp90 triliun, pemerintah pusat dan pemerintah daerah,” kata Budi di Jakarta, Kamis (7/12/2023).
Budi menuturkan bahwa belanja kesehatan yang besar ini diharapkan agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya dan seefektif mungkin untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Pasalnya, Budi mengingatkan bahwa tujuan dari Kemenkes adalah bisa memberikan akses kesehatan yang mudah ke seluruh pelosok, kualitas yang baik, hingga harga yang murah.
Baca Juga
“Dan karena belanja kesehatan itu besar, pasti selalu ada kebocoran-kebocoran itu terjadi,” ungkap Budi.
Adapun, Budi menyebut lima kasus yang paling banyak ditemukan kebocoran di antaranya impropriety coding, phantom billing, kickbacks, improper diagnostic, serta exsersive services.
Menurut Budi, ada sejumlah cara untuk mengurangi kebocoran alias fraud yang terjadi di institusi kesehatan, salah satunya dengan melakukan digitalisasi dan mengintegrasikan digital sehingga adanya transparansi data. Selain itu, juga diperlukan analisa secara rutin dari semua informasi yang masuk.
Budi juga menyebut informasi BPJS harus diintegrasikan dengan Kementerian Kesehatan. Bahkan, Budi merencanakan integrasi tersebut juga harus dilakukan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dia menjelaskan bahwa rencana kerja sama dengan OJK itu dilakukan agar semakin efisien karena adanya pertukaran informasi.
“Untuk bisa memastikan semua informasi ini masuk, baik dari sisi di RS [rumah sakit] yang ada di kami maupun pembayaran di BPJS, sehingga kita tahu jika rumah melakukan impropriety dari coding, Kemenkes memiliki kewenangan untuk membina dan menghukum RS tersebut,” pungkasnya.