Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dilema Keberadaan Aktuaris, Gaji Tinggi Namun Wajib Ada

OJK memastikan perusahaan asuransi harus memastikan memiliki aktuaris dalam perusahaan sepeti diatur UU 40/2014 dan Peraturan OJK (POJK)
Karyawan beraktivitas di dekat logo-logo perusahaan asuransi di kantor Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) di Jakarta. Bisnis/Suselo Jati
Karyawan beraktivitas di dekat logo-logo perusahaan asuransi di kantor Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) di Jakarta. Bisnis/Suselo Jati

Dosen dan Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) Wahyudin Rahman mengatakan salah satu penyebab perusahaan asuransi dan reasuransi kesulitan mendapatkan aktuaris karena link and match yang belum sejalan.

Wahyudin menjelaskan bahwa ketersediaan tenaga ahli tingkat fellow aktuaris sangat sedikit dibandingkan jumlah perusahaan asuransi umum. “Jika pun ada, maka negosiasi salary di perusahaan juga sering jadi kendala. Sebagaimana diketahui bahwa profesi aktuaris ini mahal,” ujar Wahyudin kepada Bisnis.

Selain itu, Wahyudin menambahkan bahwa beberapa peserta juga mengeluhkan ujian yang sangat sulit dan banyak subjek ujian untuk mencapai Fellow of the Society of Actuaries of Indonesia (FSAI).

Wahyudin menuturkan bahwa saat ini, banyak aktuaris yang sudah pensiun dan dipekerjakan kembali di perusahaan asuransi umum untuk memenuhi peraturan tersebut.

“Jadi aktuaris yang telah pensiun di perusahaan lain, paling banyak dari asuransi jiwa. Saat ini [pensiunan aktuaris] bekerja kembali sebagai aktuaris di perusahaan asuransi umum,” ujarnya.

Di sisi lain, Wahyudin menilai Persatuan Aktuaris Indonesia (PAI) sudah menyediakan pelatihan yang mulai intens dan kerja sama dengan universitas yang mempunyai prodi aktuaria untuk memenuhi ketersediaan tenaga ahli.

Masih adanya perusahaan yang belum memiliki aktuaris pun membuat regulator bertindak tegas dengan mengeluarkan Sanksi Peringatan Pertama.

Menurut Wahyudin, langkah yang dilakukan OJK sudah tepat, mengingat regulator sudah memperpanjang ketentuan sampai dengan 31 Desember 2023 dari sebelumnya 30 Juni 2023.

“Tentunya OJK tidak langsung memberikan sanksi pertama perlu melihat alasan-alasan yang wajar atas ketidakmampuan pemenuhan tersebut,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Wahyudin menyampaikan bahwa keberadaan aktuaris di perusahaan asuransi tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU 40/2014).

Di samping untuk memenuhi UU 40/2014 dan POJK 67/2016, Wahyudin menjelaskan bahwa keberadaan aktuaris di asuransi umum untuk membuat perusahaan tersebut sehat, berkelanjutan (sustain), dan bertahan (survive).

“Aktuaris dapat memproyeksi dengan keahlian untuk menghitung kemampuan premi dengan risikonya dan kejadian, serta pembayaran klaim di masa depan,” ujarnya.

Sementara itu, PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re memandang supply dan demand menjadi akar permasalahan sulitnya perusahaan asuransi dan reasuransi mendapatkan aktuaris.

“Ini masalah supply and demand sebenarnya, terutama untuk mendapatkan aktuaris asuransi umum, karena memang supply-nya yang terbatas, demand melebihi supply,” kata Direktur Teknik Operasi Indonesia Re Delil Khairat kepada Bisnis.

Di sisi lain, Delil menuturkan bahwa praktik menggunakan aktuaris di asuransi umum belum lama diimplementasikan di Indonesia. “Sehingga sepertinya belum cukup waktu untuk melahirkan aktuaris-aktuaris baru untuk memenuhi kebutuhan industri di mana perusahaan asuransi berjumlah cukup banyak,” imbuhnya.

Delil menjelaskan keberadaan aktuaris bagi perusahaan asuransi dan reasuransi sangat penting karena pada dasarnya perusahaan asuransi mengambil alih risiko atau ketidakpastian pihak lain dari publik.

“Aktuaris ini adalah orang atau profesi yang menggunakan ilmu peluang, statistik, dan matematik untuk mengkuantifikasi risiko itu. Lalu menerapkannya pada sektor sosial, terutama di asuransi. Sehingga risiko itu bisa diekspresikan secara finansial dalam bentuk angka,” terangnya.

Lebih lanjut, Delil menjelaskan perusahaan asuransi memerlukan aktuaris setidaknya untuk dua alasan. Pertama, harga (pricing), yaitu penetapan premi asuransi dan reasuransi. Kedua, untuk valuasi.

Dia menerangkan bahwa valuasi ini adalah penilaian portofolio, terutama kaitannya dengan penetapan cadangan untuk memastikan cadangan yang disiapkan dalam menghadapi kemungkinan liability masa depan memadai dan mencukupi.

“Sehingga dengan demikian apabila terjadi kejadian kerugian, perusahaan dapat memenuhi kewajibannya kepada tertanggung atau publik,” tutup Delil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Halaman
  1. 1
  2. 2
Penulis : Rika Anggraeni
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper