Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ramai Kasus Aiptu FN Tembak DC Leasing, Begini Kata APPI

Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) menanggapi kasus Aiptu FN yang menembak dua penagih leasing atau debt collector (DC).
Ilustrasi debt collector/Freepik
Ilustrasi debt collector/Freepik

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) menanggapi kasus Aiptu FN yang menembak dua penagih leasing atau debt collector (DC). 

Oknum polisi tersebut disebut membeli mobil dari seseorang dengan cara pengalihan kredit (take over). Namun dalam proses take over tersebut tidak dilakukan secara administrasi fidusia sehingga terjadi tunggakan. 

Ketua Umum APPI Suwandi Wiratno mengatakan dirinya belum mendapatkan informasi resmi terkait kejadian tersebut di lapangan. Selain itu, dia juga menghormati proses hukum di mana kasusnya masih ditangani pihak kepolisian. 

Namun dari informasi awal, Suwandi mengetahui bahwa Aiptu FN sendiri bukan debitur, melainkan seseorang yang membeli mobil dari debitur salah satu perusahaan leasing. 

“Seharusnya kalau kita membeli kendaraan itu kan harus ada BPKB [Buku Pemilik Kendaraan Bermotor].  Beli kendaraan itu sah demi hukum kalau dia bayar dan kalau dia sudah punya BPKB-nya kan,” kata Suwandi dihubungi Rabu (27/4/2024). 

Namun dalam kasus Aiptu FN, BPKB-nya masih di perusahaan leasing, pasalnya debitur yang sebelumnya menjual kepada Aiptu FN belum melunasi utangnya. Dengan demikian, mobil tersebut belum menjadi milik debitur sepenuhnya lantaran masih dalam proses pelunasan. 

Dengan demikian, Suwandi mengatakan bahwa proses take over tersebut dapat dikatakan tidak sah. Terlebih proses take over itu juga tidak melibatkan leasing sebagai pemberi dana. Suwandi mengatakan ketentuan tersebut juga tercantum dalam Undang-undang (UU) Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. 

Salah satunya pasal 23 ayat (2) UU Fidusia yang berbunyi pemberi fidusia dapat menggadaikan benda yang dijadikan jaminan fidusia, asalkan ada persetujuan tertulis dari penerima fidusia. 

“Jadi boleh, kalau dapat persetujuan dari penerima fidusia. Nah, penerima fidusianya siapa di sini? perusahaan pembiayaan,” kata Suwandi. 

Suwandi mengatakan apabila debitur tidak sanggup membayar sebaiknya tidak bertindak sepihak, seperti halnya melakukan penjualan ataupun mengalihkannya secara diam-diam. Ketentuan pun sudah tercantum dalam UU Fidusia pasal 36 yang berbunyi, dilarang bagi debitur untuk mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan tanpa ijin tertulis, maka bila terjadi akan ada tindak pidana penjara paling lama dua tahun dan denda paling banyak Rp50 juta rupiah.

“Jadi jelas sesuai dengan ketentuan kalau si debiturnya tidak bisa membayar lagi, dia harus datang ke perusahaan [leasing]. Tapi kebanyakan kan mengambil jalan pintas seolah-olah dia sebagai pemilik yang punya kendaraan, padahal belum pemilik,” kata Suwandi. 

Suwandi juga menilai bahwa Aiptu FN dapat disebut penadah lantaran membeli mobil yang melalui proses take over tidak sah. Sesuai ketentuan pasal 480 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) yang menyatakan bahwa melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, yang diantaranya adalah menjual dan membeli, terhadap barang yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana, dikategorikan sebagai kejahatan penadahan.

“Dia [Aiptu FN] sebagai penadah. Dia mau membeli sesuatu yang enggak sah kan? Kecuali dia punya BPKB-nya,” ungkapnya. 

Sementara terkait perilaku debt collector, APPI mengatakan penagih biasa terjun untuk mengejar debitur nakal yang kreditnya bermasalah. 

Suwandi juga menekankan dalam UU Fidusia juga disebutkan bahwa kendaraan wajib diserahkan apabila debitur telah melanggar UU Fidusia. Ketentuan ini tercantum dalam UU Fidusia pasal 30 yang berbunyi pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia. 

Serta pada Pasal 15 ayat (3) berbunyi apabila debitur cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri. 

“Ini kita boleh tarik enggak perlu ke pengadilan,” kata Suwandi. 

Terlebih sertifikat fidusia memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Suwandi mengatakan perusahaan leasing pun tentunya berusaha untuk mengamankan aset apabila ada debitur yang melanggar. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan kinerja pembiayaannya, terlebih leasing juga memiliki tanggung jawab ke pemberi pinjaman salah satunya bank. 

“Nah kalau kita mau masa bodoh kita biarin aja rugi puluhan triliun, ratusan triliun enggak bisa bayar bank. Banknya bangkrut. Enggak bisa bayar masyarakat,” ungkapnya.

Kendati demikian, dia juga tidak membenarkan apabila ada debt collector yang bertindak semena-mena seperti melontarkan kata-kata kasar, arogan, serta melakukan tindak kekerasan fisik. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper