Ambiguitas Undang-undang (UU) Nomor 37 Tahun 2004
Wahyudin juga menyinggung terkait dengan ambiguitas Undang-undang (UU) Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), sehingga peran kurator termasuk hakim pengawas tidak maksimal. Dia pun menilai harus ada revisi terkait dengan aturan tersebut.
“Tahap awal memang harus me-review dan mengubah beberapa pasal dalam UU Kepailitan dan PKPU itu sendiri,” kata Wahyudin saat dihubungi Bisnis, Senin (25/3/2024).
Wahyudin mengambil contoh pasal 17 UU Kepailitan dan PKPU terkait dengan biaya kurator. Adapun pasal 17 ayat (2) berbunyi majelis hakim yang membatalkan putusan pernyataan pailit juga menetapkan biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator.
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tersebut dibebankan kepada pemohon pernyataan pailit atau kepada pemohon dan debitor dalam perbandingan yang ditetapkan oleh majelis hakim tersebut.
Untuk pelaksanaan pembayaran biaya kepailitan dan imbalan jasa kurator sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan eksekusi atas permohonan kurator.
Menurutnya aturan tersebut tidak rasional dan perlu diperjelas serta banyak istilah yang sudah tidak relevan pada UU Kepailitan dan PKPU, misalkan kepailitan diajukan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). “Saat ini kan sudah OJK dan lain sebagainya,” imbuh Wahyudin.
Baca Juga
Namun demikian, Wahyudin menyebut mengubah UU Kepailitan dan PKPU pastinya memakan waktu. Menurutnya perlu dilakukan tindak lanjut secara paralel seperti pemilihan ulang atau pergantian kurator dan hakim pengawas yang mumpuni. Serta memiliki pengalaman penyelesaian kasus pailit yang dirasa lebih relevan saat ini.
“Memang perlu disesuaikan dahulu regulasi kepailitan dan PKPU tentang pembahasan kepailitan perusahaan asuransi dan juga Kurator yang sudah tidak relevan. Ini yang menjadi sebab berlarut-larut hak pemegang polis belum diterima sejak BMA dinyatakan pailit,” tutur Wahyudin.