Bisnis.com, JAKARTA – Dampak gejolak geopolitik diproyeksikan tak hanya bakal dirasakan oleh bank dengan transaksi berskala internasional, tetapi juga perbankan lokal yang membiayai perusahaan dengan kegiatan ekspor-impor.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin membenarkan adanya risiko dari kondisi geopolitik seperti inflasi, pelemahan ekonomi, serta pelemahan nilai tukar rupiah yang berujung kepada perlambatan pertumbuhan dana pihak ketiga, kredit, hingga lainnya di industri perbankan.
Sebab, situasi geopolitik akan berimbas kepada distribusi barang tak normal, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), serta pelemahan mata uang global karena penguatan dolar Amerika Serikat (AS), yang berujung inflasi.
Dampaknya, kata Amin, tidak hanya bakal dirasakan oleh bank dengan transaksi berskala internasional. Melainkan juga bank lokal yang membiayai perusahaan dengan kegiatan ekspor-impor.
“Artinya, akan ada pelemahan kinerja dan pertumbuhan yang harus diantisipasi oleh perbankan dari adanya kondisi geopolitik,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (9/5/2024).
Dengan adanya imbas tersebut, dia menyarankan agar perbankan memikirkan beberapa solusi mulai dari restruksturisasi internal, hapus buku, sampai dengan revisi target pertumbuhan kredit guna mengantisipasi kenaikan non-performing loan (NPL).
Baca Juga
Selain itu, bank didorong untuk menggenjot bisnis yang signifikan di berbagai macam layanan, sehingga tidak hanya mengandalkan aset produktif seperti kredit.
Hal ini perlu dilakukan agar pendapatan dari ragam layanan tersebut bisa disisihkan untuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) demi menjaga performa bank di tengah situasi pelik.
Tak hanya itu, Amin juga berpendapat perlunya perbankan untuk merevisi kembali sejumlah targetnya. Mulai dari target pertumbuhan kredit, NPL, sampai dengan hapus buku.
Namun, tentunya revisi target tersebut merupakan pilihan dan kebijakan masing-masing bank dalam menghadapi akun-akun bermasalah.
Selain itu, dia juga melihat perlu adanya penagihan secara terstruktur yang benar-benar memerhatikan kondisi bisnis dari para debitur juga dianggap perlu dilakukan.
Di sisi lain, pemerintah perlu melakukan intervensi serupa program Pemulihan Ekonomi Nasional jika kondisi saat ini berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, meluas, serta menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan sektor-sektor industri yang dibiayai oleh bank.
“Mungkin insentif yang tidak harus sama dengan PEN, tapi setidaknya membantu. Sebab, dari Rp251 triliun yang pinjaman direstrukturisasi itu, saya yakin lebih dari 50%-nya akan tetap menjadi masalah bom waktu buat industri perbankan,” terangnya.