Bisnis.com, JAKARTA — Tarik ulur perawatan pasien di rumah sakit (RS) dengan skema kelas rawat inap standar (KRIS) bagi pengguna BPJS Kesehatan memasuki babak baru. Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal pasti yakni 1 Juli 2025 seluruh sudah menerapkan layanan kelas standar.
KRIS sudah didengungkan pemerintah sejak 2022 dengan melakukan uji coba di lima rumah sakit. Setelah evaluasi, uji coba diterapkan tahun berikutnya di 14 rumah sakit. Namun pelaksanaannya terus mundur, hingga dalam regulasi anyar menjadi beban pemerintahan baru yakni terlaksana paling lambat per 30 Juni 2025.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan penerapan fasilitas ruang perawatan Rumah Sakit (RS) kelas rawat inap standar (KRIS) dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2028 tentang JKN.
“Penerapan fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan kelas rawat inap standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46A dilaksanakan secara menyeluruh untuk rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 30 Juni 2025,” tulis Perpres Nomor 59 Tahun 2024 pasal 103B, dikutip Rabu (15/5/2024).
Sebelum tenggat akhir, RS dapat menyelenggarakan sebagian atau seluruh pelayanan rawat inap berdasarkan KRIS sesuai dengan kemampuan. Sementara itu, pembayaran tarif berobat oleh BPJS Kesehatan dilakukan sesuai kelas rawat inap rumah sakit yang menjadi hak peserta meski RS telah berubah skema pelayanan menjadi berdasarkan KRIS.
Baca Juga
Kebijakan baru ini, mengubah bentuk layanan yang membagi pasien dalam tiga kelas yakni kelas 1, 2, dan 3. Dalam skema ini, iran yang diberikan setiap kelompok ke BPJS Kesehatan juga berbeda.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut teknis aturan KRIS akan dituangkan dalam peraturan menteri. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas standar layanan rawat inap.
"Jadi, itu [kelas layanan] bukan dihapus, melainkan standarnya disederhanakan dan kualitasnya diangkat. Jadi itu [layanan rawat inap dalam regulasi BPJS] ada kelas tiga kan sekarang, semua naik ke kelas dua, dan kelas satu. Jadi sekarang lebih sederhana dan layanan masyarakat lebih bagus," katanya seperti dilansir dari Antara.
Sementara itu, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengungkap tidak ada narasi penghapusan variasi kelas rawat inap 1,2,dan 3 bagi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024.
Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah mengatakan mekanisme pelaksanaan kelas rawat inap standar (KRIS) saat ini masih belum ada regulasi turunan terkait aturan tersebut.
“Kebijakan KRIS ini masih akan dievaluasi penerapannya oleh Menteri Kesehatan dengan melibatkan BPJS Kesehatan, DJSN [Dewan Jaminan Sosial Nasional], dan pihak-pihak terkait lainnya,” kata Rizzky dalam keterangan resminya dikutip Selasa (14/5/2024).
Tidak hanya sampai disitu, dia juga memastikan bahwa nominal iuran yang berlaku bagi peserta JKN masih mengacu pada Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018. Aturan tersebut berlaku sampai dengan amanat Perpres Nomor 59 Tahun 2024 yang mengatur tarif baru pada tahun depan diundangkan.
Adapun ketentuan iuran BPJS Kesehatan saat ini terdiri untuk peserta JKN segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri kelas I iurannya Rp150.000, kelas II Rp100.000 dan kelas III Rp42.000 per orang per bulan dengan subsidi sebesar Rp7.000 per orang per bulan dari pemerintah, sehingga yang dibayarkan peserta kelas III hanya Rp35.000.
“Nominal iuran JKN sekarang masih sama. Tidak berubah. Hasil evaluasi pelayanan rawat inap rumah sakit yang menerapkan KRIS ini akan menjadi landasan bagi pemerintah untuk menetapkan manfaat, tarif, dan iuran JKN ke depannya,” kata Rizzky.
Rizzky menjelaskan dari perspektif BPJS Kesehatan, KRIS dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi peserta JKN untuk daerah yang jauh dari pusat ibu kota.
“Sampai dengan Perpres ini diundangkan, pelayanan bagi pasien JKN masih tetap berjalan seperti biasanya. Bersama fasilitas kesehatan, kami tetap mengutamakan kualitas pelayanan kepada peserta. Kami juga memastikan rumah sakit menerapkan janji layanan JKN dalam melayani peserta JKN sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku,” pungkasnya.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron menyebut bahwa penyesuaian tarif bersandar dengan aturan KRIS menunggu evaluasi. Setelah adanya evaluasi, baru ditentukan seperti apa manfaat layanan, tarif, hingga iuran.
“Semua nanti dievaluasi, dan BPJS bukan pihak yang mengevaluasi, baru ditentukan kira-kira manfaat layanan seperti apa, tarif dan iurannya,” kata Ghufron saat dihubungi Bisnis, Selasa (14/5/2024).
Per 1 Mei 2024, asuransi kesehatan berbasis dana gotong royong masyarakat itu membukukan jumlah kepesertaan Program JKN mencapai lebih dari 272 juta jiwa, atau sekitar 97,27% dari total populasi Indonesia.
Komposisi kepesertaan saat ini terdiri atas 151,78 juta lebih peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI), 111,03 juta lebih PBI APBN, 40,76 juta lebih PBI APBD, dan 96,97 juta jiwa non-PBI.
Ghufron memastikan untuk bahwa kondisi keuangan BPJS Kesehatan saat ini masih dapat mencukupi atau tidak defisit. Namun di tengah banyaknya klaim hingga kenaikan tarif layanan kesehatan kecukupan dana juga harus dipikirkan. Adapun dana yang dikelola oleh BPJS Kesehatan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah iuran para peserta.
“Kondisi keuangan BPJS tahun berjalan RKAT dibuat defisit tetapi secara keseluruhan tidak defisit, kalau peralatan dan utilisasi naik terus tentu suatu saat tidak cukup dananya [defisit],” ungkapnya.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan dengan Perpres 59/2024 maka layanan rumah sakit mengarah ke satu ruang perawatan dgn maksimal 4 tempat tidur, dan 12 kriteria ruangan.
Dia menilai regulasi baru ini menyisahkan sejumlah ruang tanya seperti menghambat akses peserta JKN pada ruang perawatan.
"[Contohnya] pelaksanaan KRIS akan merujuk pada PP No. 47 tahun 2021, yang di pasal 18-nya disebutkan RS Swasta dapat mengalokasikan ruang perawatan KRIS minimal 40% dari total yg ada, dan RS Pemerintah minimal mengalokasikan 60%. Bila sebuah RS swasta mengalokasikan 50 persen, maka itu sudah memenuhi PP tersebut. Jadi yang bisa diakses peserta JKN hanya 50% sementara 50% lagi untuk pasien umum," katanya.
Dengan aturan ini, Timboel menilai terjadi pembatasan akses bagi peserta JKN ke ruang perawatan di RS. "Saat ini saja, dimana ruang perawatan kelas 1, 2 dan 3 diabdikan semuanya untuk pasien JKN, masih terjadi kesulitan mengakses ruang perawatan, apalagi nanti dengan KRIS," katanya mengingatkan.
Dia juga menyoroti iuran peserta Mandiri yang jadi single tarif. Kondisi ini akan membebani BPJS Kesehatan karena iuran kelas 1 dan 2 akan hilang, sementara kelas 3 akan naik.
"Bagi kelas 1 dan 2 akan membayar lebih rendah sehingga menurunkan potensi penerimaan iuran, sementara kelas 3 yang naik akan berpotensi meningkatkan peserta yang menunggak," ujar Timboel.
Dia juga mengingatkan, kelas standar juga meningkatkan ketidakpuasan bagi peserta peserta dari pegawai swasta yang selama ini dilayani dengan kelas 1 dan 2.
Tantangan lain yakni, kebutuhan modal bagi perusahaan swasta untuk merenovasi ruang perawatan sesuai KRIS. "Kalau RS pemerintah tinggal nunggu alokasi APBN atau APBD. Seharusnya Pemerintah memberikan pinjaman tanpa bunga bagi RS swasta untuk merenovasi ruang perawatannya," katanya.
Timbeol menyebutkan saat ini KRIS sudah resmi diadopsi dengan payung hukum Perpres 59 tahun 2024. Dengan realitas ini dia meminta Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus memiliki program untuk memastikan peserta JKN mendapat kemudahan dalam mengakses ruang perawatan.
"Bila di sebuah RS memang kamar perawatannya penuh, Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus segera mencarikan RS yang mampu merawatnya, dan merujuk ke RS tersebut dengan ambulan yang dibiayai JKN. Jangan biarkan pasien JKN atau keluarganya yang mencari sendiri RS yang bisa merawat mereka," katanya.
Adapun berdasarkan Pasal 46 A aturan tersebut, kriteria fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan kelas rawat inap standar terdiri atas:
- Komponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi
- Ventilasi udara
- Pencahayaan ruangan
- Kelengkapan tempat tidur
- Nakas per tempat tidur
- Temperatur ruangan
- Ruang rawat dibagi berdasarkan jenis kelamin, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi
- Kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur
- Tirai/partisi antar tempat tidur
- Kamar mandi dalam ruangan rawat inap
- Kamar mandi memenuhi standar aksesibilitas
- Outlet oksigen.
Penerapan fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan KRIS tidak berlaku untuk pelayanan rawat inap untuk bayi atau perinatologi, perawatan intensif, pelayanan rawat inap untuk pasien jiwa, serta perawatan yang memiliki fasilitas khusus. Ke depan, penerapan fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan KRIS juga dilakukan evaluasi dengan mempertimbangkan keberlangsungan program Jaminan Kesehatan.Dalam masa penerapan fasilitas ruang perawatan pada pelayanan rawat inap berdasarkan KRIS, Menteri melakukan pembinaan terhadap Fasilitas Kesehatan.