Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan melakukan koordinasi dengan berbagai pihak, khususnya Pemerintah, terkait proposal perpanjangan restrukturisasi kredit Covid-19 hingga 2025.
Untuk diketahui, kebijakan stimulus restrukturisasi kredit Covid-19 diberlakukan pemerintah mulai Maret 2020. Kemudian, kebijakan tersebut telah berakhir pada 31 Maret 2024.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan otoritas sendiri telah menganalisis dan melakukan survei secara komprehensif mengenai kesiapan bank dan juga industri yang terkena dampak Covid-19, khususnya UMKM, industri tertentu, dan daerah Bali.
“Kita akan mendengar dengan baik dulu apakah ada concern lain yang OJK tidak lihat dalam konteks pengakhiran restrukturisasi Covid-19 tersebut,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (27/6/2024)
Dian juga menyebut pihaknya sedang melakukan konsultasi internal yang juga mengarah pada koordinasi hingga klarifikasi lebih lanjut mengenai usulan perpanjangan relaksasi tersebut.
Dirinya pun mengingatkan bahwa program relaksasi dicabut seiring dengan keputusan pemerintah yang mencabut status pandemi Covid-19 di Indonesia.
Baca Juga
Bahkan, Dian menyebut saat restrukturisasi Covid-19 resmi berakhir pada Maret 2024, perbankan sendiri telah melakukan antisipasi dengan membentuk pencadangan yang memadai.
“Nah, sehingga nanti kalau ada hal-hal lain yang memberatkan bank mungkin, karena [pada waktu itu] komunikasinya sangat singkat, kami tentu perlu koordinasi lebih lanjut.” ujarnya di Gedung DPR RI, Kamis (27/6/2024).
Saat disinggung terkait potensi moral hazard, Dian memang mengakui sejumlah bank merasa keberatan untuk memperpanjang restrukturisasi Covid-19. Pasalnya, pemain industri merasa situasi sudah membaik.
“Sehingga jangan sampai ada efek negatif soal moral hazard, tapi ini kan pendapat industri,” ucapnya.
Alhasil, OJK merasa perlu mendengarkan dua sisi, di mana pihaknya memastikan untuk berupaya memahami maksud usulan dari Presiden RI dengan baik.
“Kita memahami betul karena ini bukan main-main, namanya juga kepala negara, semua gagasan harus kita pahami, sehingga kita akan lakukan konsultasi lebih lanjut dengan pemerintah,” ungkap Dian.
Sebelumnya, pemerintah memang meminta perpanjangan kebijakan stimulus restrukturisasi kredit perbankan yang terdampak Covid-19 hingga 2025.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa perpanjang kebijakan restrukturisasi kredit merupakan arahan dari presiden Joko Widodo (Jokowi) yang akan diusulkan ke OJK melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
“Tadi ada arahan bapak Presiden bahwa kredit restrukturisasi akibat daripada Covid-19 itu yang seharusnya jatuh tempo pada Maret 2024 ini diusulkan ke OJK, nanti melalui KSSK dan Gubernur BI untuk mundur sampai dengan 2025,” katanya di kompleks Istana Kepresidenan, Senin (24/6/2024).
Airlangga menjelaskan tujuan dari perpanjangan stimulus tersebut untuk mengurangi beban perbankan dalam mencadangkan kerugian akibat kenaikan kredit bermasalah.
Bisnis mencatat, sisa kredit yang direstrukturisasi per April 2024 adalah sebesar Rp207,40 triliun, menurun jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya Rp228,03 triliun. Bahkan, secara tahunan angka ini susut dari semula Rp386,03 triliun.
MORAL HAZARD
Direktur Kepatuhan PT Bank Oke Indonesia Tbk. (DNAR) Efdinal Alamsyah mengatakan OJK sebaiknya sudah melakukan studi secara komprehensif mengenai dampak penghentian stimulus restrukturisasi kredit Covid-19 bagi industri perbankan. OJK pun sudah meminta perbankan untuk melakukan persiapan sebelum menghentikan stimulus tersebut.
Meski begitu, terkait usulan perpanjangan restrukturisasi kredit Covid-19, beberapa hal perlu menjadi bahan pertimbangan.
"Jika ingin melakukan perpanjangan stimulus restrukturisasi Covid-19 sampai dengan 2025, perpanjangan restrukturisasi yang terlalu lama bisa saja menciptakan moral hazard," katanya, Selasa (25/6/2024)
Menurut Efdinal, debitur tidak memiliki insentif untuk memperbaiki kondisi keuangan mereka karena adanya harapan bahwa akan terus ada keringanan. Selain itu, perpanjangan stimulus restrukturisasi kredit Covid-19 bisa saja hanya menjadi penundaan masalah.
"Restrukturisasi kredit yang berkepanjangan bisa hanya menunda masalah dalam debitur pada akhirnya juga tidak mampu memulihkan bisnis mereka, dan akan terjadi peningkatan kredit macet setelah masa restrukturisasi berakhir," tuturnya.
Perpanjangan restrukturisasi kredit Covid-19 juga dapat menjadi beban bagi bank. Apabila bank terus-menerus menanggung kredit yang direstrukturisasi, hal ini pada akhirnya bisa mengganggu profitabilitas dan kemampuan bank untuk memberikan kredit baru.
"Jadi perpanjangan stimulus restrukturisasi kredit Covid-19 benar-benar harus memperhatikan kondisi ekonomi saat ini, tingkat pemulihan sektor-sektor yang paling terdampak, dan kapasitas sistem perbankan untuk menyerap risiko tambahan," kata Efdinal.
Pengamat Ekonomi Aviliani juga mengingatkan agar perpanjangan restrukturisasi kredit Covid-19 tidak malah membuat moral hazard.
"Restrukturisasi itu tidak untuk umum. Akan tetapi, sebenarnya [restrukturisasi] adalah yang memang membutuhkan dan masih punya masalah," tuturnya.