Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) meminta penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp10 triliun di tengah deraan kasus fraud hingga kerugian yang membengkak.
Direktur Eksekutif LPEI Rijani Tirtoso mengatakan LPEI mengajukan PMN sebesar Rp10 triliun untuk program penugasan khusus ekspor (PKE). Adapun, dari dana tersebut, LPEI akan menambah kapasitas lima program eksisting, trade finance, kawasan non tradisional, UKM, alat transportasi, industri farmasi dan alat kesehatan.
Selain itu, LPEI akan menyediakan empat program baru yaitu industri pangan, offshore financing, penjaminan dan asuransi.
"Jadi, latar belakang PMN ini adalah untuk PKE yang diperlukan karena dalam memperbaiki dan meningkatkan daya saing produk Indonesia di mancanegara," kata Rijani dalam RDP dengan Komisi XI DPR pada Senin (1/7/2024).
Selain itu, dia mengatakan PMN diperlukan untuk program PKE untuk membuka akses pasar terutama untuk negara nontradisional.
Menurutnya, program PKE di LPEI pun bermanfaat dalam terciptanya devisa negara dengan nilai total Rp119 triliun untuk kurun waktu 2024-2028. Lalu, meningkatkan peran serta perbankan nasional dalam mengembangkan ekspor produk strategis dan prioritas pemerintah ke negara non tradisional.
Baca Juga
"Meningkatkan minat eksportir untuk mengembangkan pasar melalui pemberian proteksi terhadap gagal bayar dari buyer luar negeri dan menambah earning kepada LPEI untuk meningkatkan penyaluran kepada eksportir lainnya," kata Rijani.
Meski begitu, LPEI saat ini sedang didera kasus dugaan fraud pemberian fasilitas kredit. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menelaah tiga dari enam debitur LPEI yang diduga terindikasi fraud. Ada indikasi kerugian sekitar Rp3,45 triliun pada debitur LPEI berinisial PT PE, PT RII, dan PT SMYL.
Kejagung juga telah menerima laporan terpisah dari Menteri Keuangan Sri Mulyani, di mana ada empat debitur LPEI yang terindikasi fraud dengan nilai Rp2,5 triliun yakni PT RII, PT SMS, PT SPV, dan PT PRS.
Tidak sampai di situ, Kejagung menyebut ada enam perusahaan lain yang akan resmi dilaporkan lagi usai diaudit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Nilai indikasi kerugian keuangan negaranya mencapai Rp3,85 triliun.
Sepanjang 2023, LPEI juga mengalami rugi tahun berjalan mencapai Rp16,5 triliun baik secara individual maupun konsolidasian per 31 Desember 2023. Kerugian tersebut meningkat disebabkan oleh kerugian penurunan nilai aset keuangan yang mencapai Rp16,9 triliun.
Rijani mengatakan sebenarnya LPEI telah melakukan upaya transformasi menyeluruh. "Permasalahan sejak sebelum 2018, penyebabnya pemberian kredit over financing. Infrastruktur early warning belum tersedia. Komite pembiayaan tak ada. Pengambilan keputusan dilakukan secara sikuler," ujarnya.
Kini, menurutnya cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) LPEI sudah membaik, begitu juga dengan kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL). "Kami serius selesaikan aset bermasalah. Terjadi konsolidasi portofolio. Kami lakukan perbaikan pengelolaan income," katanya.
Selain itu, juga terjadi pergantian seluruh Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, Direktur Pelaksana dan Menejemen Senior yang mayoritas dari profesional banker. Terjadi pula pergantian pegawai kepala divisi ke bawah dengan profesional banker dan eksternal.
Atas kasus yang menimpa LPEI, telah dilakukan upaya hukum secara perdata maupun pidana terhadap debitur serta internal LPEI yang terlibat.