Bisnis.com, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan aturan terkait dengan tata kelola di industri bank perekonomian rakyat (BPR). Terdapat sederet peluang yang bisa dimanfaatkan BPR dari aturan itu, sekaligus tantangan yang mesti dihadapi.
Aturan yang diterbitkan oleh OJK adalah Peraturan OJK (POJK) Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Perekonomian Rakyat dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah. POJK baru itu berlaku sejak diundangkan pada 1 Juli 2024.
Secara umum, POJK baru itu mengatur mengenai kewajiban bagi BPR dan BPRS untuk menerapkan tata kelola yang baik dalam penyelenggaraan kegiatan usaha di seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran Arianto Muditomo mengatakan POJK baru ini pada dasarnya adalah upaya regulator untuk memastikan industri BPR meningkatkan kualitas tata kelolanya, terutama setelah terbitnya Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) dan maraknya digitalisasi keuangan.
"POJK ini membawa angin segar bagi tata kelola BPR dan BPRS," ujar Arianto kepada Bisnis pada Rabu (17/7/2024).
Baca Juga
Menurutnya, aturan baru itu membuka peluang baru bagi industri BPR untuk berkembang lebih pesat. Sebab, tata kelola yang kuat dan pengawasan ketat dapat meningkatkan kepercayaan nasabah, sehingga dapat mendorong pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK).
Kemudian, terdapat peluang ekspansi ke produk dan layanan baru seperti kredit mikro, syariah, dan digital yang terbuka lebar. Hal ini pula sejalan dengan UU PPSK yang membuka kemungkinan ekspansi produk BPR.
Lalu, ada peluang konsolidasi yang menjadikan industri BPR lebih besar dan kuat dengan daya saing tinggi. Selain itu, terdapat peluang kolaborasi dengan lembaga keuangan lainnya seperti teknologi finansial (fintech) yang memungkinkan BPR menawarkan layanan keuangan lebih komprehensif dan inovatif.
BPR bisa memanfaatkan peluang ini dengan cara melibatkan tiga unsur utama yaitu sumber daya manusia, operasi, dan teknologi dalam tata kelolanya.
Dari sisi sumber daya manusia, BPR perlu meningkatkan kompetensi SDM melalui pelatihan dan pengembangan berkelanjutan. Dari sisi operasi, BPR perlu memastikan efisiensi dan efektivitas proses eksisting, di samping tetap harus berinovasi pada pengembangan produk dan layanan.
Kemudian dari sisi teknologi, BPR bisa mengadopsi teknologi informasi untuk meningkatkan efisiensi, manajemen risiko, dan layanan keuangan digital inovatif.
Namun, implementasi tata kelola mengacu aturan baru dari OJK itu menghadirkan beberapa tantangan. "Penerapan tata kelola yang efektif membutuhkan komitmen dan sumber daya memadai, terutama bagi BPR atau BPRS kecil," ujar Arianto.
Selain itu, konsolidasi industri melalui akuisisi dan merger berpotensi memicu resistensi. Tantangan lainnya termasuk penyesuaian teknologi, persaingan dengan fintech, dan kompleksitas regulasi yang tentunya tidak lepas dari tata kelola yang baik.
Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) Tedy Alamsyah mengatakan Perbarindo menyambut baik aturan baru dari OJK itu untuk keberlangsungan industri BPR ke depan. Sejak pengawasan sebelum berpindah ke OJK pun menurutnya industri BPR sudah beradaptasi dengan ketentuan regulator.
"Kami comply karena BPR merupakan industri yang berbasis kepercayaan," ujarnya kepada Bisnis pada Rabu (17/7/2024).
Ia mengatakan dalam memenuhi ketentuan di aturan baru itu, beban operasional BPR memang akan mengalami penambahan. "Akan tetapi, penerapan governance atau tata kelola yang baik memastikan bahwa industri BPR akan semakin bisa tumbuh sehat, produktif, dan akan semakin bermanfaat bagi stakeholder," tutur Tedy.
Adapun, penguatan tata kelola di aturan baru OJK itu juga sejalan dengan kebijakan konsolidasi bagi BPR dan BPRS yang berada dalam kepemilikan pemegang saham pengendali (PSP) yang sama. Dengan begitu BPR dan BPRS menjadi industri yang lebih efisien dan berkontribusi bagi perekonomian dan masyarakat.
Terkait konsolidasi tersebut, Tedy mengatakan industri BPR sudah mulai merespon mengikuti arahan dari OJK. Perbarindo pun terus mendorong adanya konsolidasi di industri BPR. "BPR bisa berperan aktif dalam kontribusi pertumbuhan ekonomi di mana BPR atau BPRS berlokasi, as community bank," ujar Tedy.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan POJK tersebut terbit untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap BPR atau BPRS. “Ketentuan ini penting dalam rangka menghadapi berbagai tantangan internal dan eksternal yang semakin kompleks," kata Dian dalam keterangan tertulis pada Selasa (16/7/2024).
Sebab, berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan OJK, kegagalan dalam penerapan tata kelola yang baik pada BPR dan BPRS seringkali menjadi salah satu penyebab utama kebangkrutan.
Sebagaimana diketahui, telah marak kebangkrutan di industri BPR. Terdapat 12 BPR bangkrut di Indonesia dan telah dicabut izin usahanya oleh OJK sepanjang 2024 berjalan.
Sementara, pada tahun lalu, terdapat empat bank bangkrut di Indonesia. Apabila ditarik sejak 2005, maka total ada 134 bank bangkrut di Tanah Air. Hampir semua bank yang bangkrut merupakan BPR.