Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tiga rumah sakit yang melakukan fraud atas sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan akan dilanjutkan ke ranah pidana.
Sebelumnya, Tim Bersama Penanganan Kecurangan JKN yang terdiri dari KPK, BPKP, Kemenkes, hingga BPJS Kesehatan berhasil membongkar modus kecurangan atau fraud dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Tim tersebut melakukan investigasi di tiga rumah sakit, termasuk penelusuran terkait klaim BPJS Kesehatan. Hasilnya, ditemukan dugaan kecurangan dengan nilai lebih dari Rp35 miliar. "Tiga kasus ini cukup kuat untuk dibawa ke penindakan KPK sesuai dengan putusan pimpinan," kata Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, kepada Bisnis, Rabu (24/07/2024).
Pahala menjelaskan tahapan modus klaim fiktif BPJS Kesehatan. Tahap awal adalah pengumpulan dokumen pasien seperti KTP, KK, dan Kartu BPJS melalui kegiatan Bakti Sosial bekerja sama dengan kepala desa atau kepala dusun setempat. Setelah itu, dikeluarkan Surat Eligibilitas Peserta (SEP) dengan Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) yang sebenarnya sudah tidak lagi bekerja di rumah sakit.
Berikutnya, dibuat rekam medis, resume medis, dan Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT) yang sudah ditandatangani, serta melampirkan pemeriksaan penunjang. Tahap terakhir adalah penyusunan dokumen tersebut dan pengiriman klaim kepada BPJS Kesehatan.
Data pengendalian potensi kecurangan BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa pada tahap proses klaim atau verifikasi dan pasca verifikasi klaim melalui audit pada November 2023, terdapat biaya pengendalian inefisiensi pembiayaan program JKN sebesar Rp866,8 miliar saat verifikasi dan Rp397,9 miliar pasca verifikasi. Hal ini menunjukkan adanya penggelembungan sebesar Rp468,9 miliar.
Baca Juga
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menyatakan bahwa fraud klaim palsu ini menjadi beban bagi pembiayaan JKN. Jika tidak diatasi, BPJS Kesehatan bisa mengalami defisit. Timboel menilai fraud klaim palsu terjadi karena kesenjangan pengawasan dan kurangnya komunikasi langsung antara BPJS Kesehatan dengan pasien.
"Misalnya ada phantom billing, di mana tidak ada pasien tetapi bisa diklaim. Kalau BPJS bisa berkomunikasi dengan pasien, kejadian ini tidak mungkin terjadi," kata Timboel.
Selain berdampak pada keuangan BPJS Kesehatan, fraud tersebut juga merugikan pasien. Timboel mencontohkan bahwa pernah ada pasien yang meninggal dunia karena dugaan fraud. "Pernah ada berita di koran, ada pasien yang disuruh pulang meski belum layak, dan dia meninggal di rumah. Itu dampak kepada peserta," tegasnya.