Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) menjelaskan mengapa porsi pembiayaan dari perusahaan pembiayaan di sektor infrastruktur jumlahnya sangat kecil.
Dalam data statistik multifinance yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pembiayaan infrastruktur pada Mei 2024 turun 88,42% year-on-year (yoy) menjadi sebesar Rp11,71 triliun, dibanding dengan Rp101,19 triliun pada Mei 2023.
Pada 2023, rata-rata setiap bulannya pembiayaan infrastruktur mencatatkan angka tiga digit, sedangkan di 2024 ini hanya menjadi dua digit.
Bila dihitung rata-ratanya, pada periode Januari-Mei 2023 pembiayaan infrastruktur mencapai Rp101,15 triliun, sedangkan,pada Januari-Mei 2024 rata-rata hanya Rp11,58 triliun.
Ketua APPI, Suwandi Wiratno, mengatakan dalam ketentuan OJK perusahaan yang dapat membiayai proyek infrastruktur adalah perusahaan yang memiliki modal minimal Rp1 triliun.
"Jadi tidak bisa semuanya masuk. Dan yang punya modal besar rata-rata bermain di pembiayaan yang multiguna. Jadi tidak banyak yang bermain di infrastruktur," kata Suwandi kepada Bisnis, Jumat (30/8/2024).
Baca Juga
Suwandi mencontohkan pembiayaan di sektor infrastruktur misalnya seperti pembangunan jembatan, jalan tol, dan proyek-proyek besar lainnya, yang rata-rata didanai oleh perbankan.
"Di kita rasanya sih enggak. Tidak akan banyak, dan sedikit yang bermain. Contohnya seperti di Central Jawa Power itu pembangunan listrik. Kemudian ada di Jatiluhur. Tidak banyak, tidak ada yang lain-lain bermain di infrastruktur," kata dia.
Suwandi menjelaskan, pembiayaan infrastruktur merupakan pembiayaan jangka panjang, sedangkan perusahaan pembiayaan tidak memiliki kapasitas akan hal itu.
"Rata-rata dananya kan tiga tahun empat tahun. Kalau infrastruktur 10 tahun, 15 tahun sampai 30 tahun. Dari mana dananya orang kita tidak dapat dana dari publik," jelasnya.