Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengungkap bahwa sejumlah pelaku yang tengah mengkaji tentang kemungkinan merger ataupun akuisisi sehubungan dengan pemenuhan modal minimum. Adapun berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 10 Tahun 2022, perusahaan fintech P2P lending harus memiliki modal minimum Rp12,5 miliar pada 4 Juli 2025 dan seterusnya.
Peningkatan modal tersebut juga bertahap dari minimum Rp2,5 miliar pada 3 Juli 2024, dan Rp7,5 miliar pada 4 Juli 2024–3 Juli 2025. Sementara per Agustus 2024, ada 28 penyelenggara fintech P2P lending yang belum memenuhi ketentuan modal Rp7,5 miliar.
Namun demikian, Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar menyebut bahwa masalah akuisisi di industri fintech P2P lending masih terbatas aturan. “Masalah akuisisi masih terkendala pada peraturan OJK di mana platform P2P lending tidak boleh memiliki lebih dari satu platform,” kata Entjik saat dihubungi Bisnis, pada Rabu (11/9/2024).
Ekonom dan Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan peningkatan modal bagi platform fintech P2P lending menjadi tantangan tersendiri. Terlebih masih banyak yang belum memenuhi aturan kenaikan modal yang telah ditetapkan.
Huda mengatakan bahwa penambahan modal tersebut sejatinya bisa dilakukan dengan injeksi modal dari investor strategis, tetapi tampaknya saat ini tengah seret.
Baca Juga
“Jadi ketika pemenuhan ini tidak tercapai, sebenarnya kan pilihannya kan dua kan, mereka bisa akuisisi atau merger, atau mereka tidak beroperasi [mengembalikan izin],” kata Huda saat dihubungi Bisnis pada Rabu (11/9/2024).
Huda mengatakan ini juga harus menjadi perhatian regulator, di mana apabila semakin banyak platform yang tidak mampu memenuhi maka pemainnya menjadi lebih sedikit.
“Apakah memang itu yang diinginkan oleh OJK, seperti halnya OJK memberikan treatment ini kepada perbankkan,” katanya.
Menurut Huda cukup berat bagi perusahaan fintech P2P lending untuk memenuhi modal Rp7,5 miliar dalam waktu singkat. Belum lagi pada tahun depan harus memenuhi modal sebanyak Rp12,5 miliar.
Dia mengatakan ketika platform P2P lending tidak mendapatkan pendanaan dari venture capital, mereka harus meminjam ke perbankan yang mana bunganya besar. Terlebih karena kan suku bunga Bank Indonesia (BI) juga lagi tinggi.
“Jadi ketika platform meminjam di bank itu tidak relevan lagi bagi industri untuk bisa membayarnya. Sedangkan di satu sisi untuk dia mendapatkan cuan dari pinjaman itu dibatasi oleh peraturan OJK,,” katanya
Diketahui OJK telah menurunkan bunga pinjaman fintech P2P lending dari sebelumnya 0,4% per hari, menjadi sebanyak 0,1% untuk produktif dan 0,3% untuk konsumtif. Di satu sisi, Huda menyebut ini menjadi sangat baik untuk konsumen karena bunganya tidak terlalu besar. Namun bagi lender dan juga bagi industri sendiri itu cukup ketat juga bagi kantong mereka.
Huda mengatakan ketika platform P2P lending semakin sempit ruang geraknya untuk mendapatkan keuntungan operasional, otomatis kesempatan mendapatkan tambahan modal pun juga semakin sempit. Oleh sebab itu, menurut Huda, aturan-aturan OJK sangat penting bagi keberlangsungan industri.
“Dari modal minimum, sampai merger dan akuisisi ini cukup memberatkan. Kalau merger mungkin bisa gitu, tapi kalau akuisisi itu cukup berat karena aturan OJK juga menyebutkan satu perusahaan itu tidak boleh mempunyai dua platform,” katanya.