Huda mengatakan ini juga harus menjadi perhatian regulator, di mana apabila semakin banyak platform yang tidak mampu memenuhi maka pemainnya menjadi lebih sedikit.
“Apakah memang itu yang diinginkan oleh OJK, seperti halnya OJK memberikan treatment ini kepada perbankkan,” katanya.
Menurut Huda cukup berat bagi perusahaan fintech P2P lending untuk memenuhi modal Rp7,5 miliar dalam waktu singkat. Belum lagi pada tahun depan harus memenuhi modal sebanyak Rp12,5 miliar.
Dia mengatakan ketika platform P2P lending tidak mendapatkan pendanaan dari venture capital, mereka harus meminjam ke perbankan yang mana bunganya besar. Terlebih karena kan suku bunga Bank Indonesia (BI) juga lagi tinggi.
“Jadi ketika platform meminjam di bank itu tidak relevan lagi bagi industri untuk bisa membayarnya. Sedangkan di satu sisi untuk dia mendapatkan cuan dari pinjaman itu dibatasi oleh peraturan OJK,,” katanya
Diketahui OJK telah menurunkan bunga pinjaman fintech P2P lending dari sebelumnya 0,4% per hari, menjadi sebanyak 0,1% untuk produktif dan 0,3% untuk konsumtif. Di satu sisi, Huda menyebut ini menjadi sangat baik untuk konsumen karena bunganya tidak terlalu besar. Namun bagi lender dan juga bagi industri sendiri itu cukup ketat juga bagi kantong mereka.
Baca Juga
Huda mengatakan ketika platform P2P lending semakin sempit ruang geraknya untuk mendapatkan keuntungan operasional, otomatis kesempatan mendapatkan tambahan modal pun juga semakin sempit. Oleh sebab itu, menurut Huda, aturan-aturan OJK sangat penting bagi keberlangsungan industri.
“Dari modal minimum, sampai merger dan akuisisi ini cukup memberatkan. Kalau merger mungkin bisa gitu, tapi kalau akuisisi itu cukup berat karena aturan OJK juga menyebutkan satu perusahaan itu tidak boleh mempunyai dua platform,” katanya.