Bisnis, JAKARTA --- Proses spin off usaha syariah (UUS) perusahaan asuransi paling lambat harus selesai akhir 2026 meski lini bisnis usaha asuransi syariah di Indonesia terhitung masih minim.
Saat ini, terdapat 41 perusahaan asuransi dan reasuransi yang telah menyampaikan Rencana Kerja Pemisahan Unit Syariah (RKPUS) kepada OJK. Dari total itu, 29 UUS melakukan pendirian perusahaan sendiri dan 12 UUS memilih pengalihan portofolio.
Spin off ini menjadi satu dari lima berita pilihan yang dirangkum dalam Top 5 News Bisnisindonesia.id edisi Sabtu (28/9/2024). Berikut selengkapnya.
1. Upaya Kerja Target Spin Off Asuransi
Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Iwan Pasila menjelaskan, bagi perusahaan yang tidak akan membentuk perusahaan asuransi syariah, OJK meminta perusahaan untuk mengalihkan portofolio syariah yang ada saat ini ke perusahaan asuransi syariah yang sudah memiliki izin usaha sehingga hak pemegang polis tetap dapat dipenuhi.
Pengalihan ini, kata dia, merupakan transaksi usaha yang biasa dan akan tergantung pada kesepakatan perusahaan asuransi yang akan mengalihkan dan yang akan menerima. “Kami terus mengawasi proses ini dan juga mengkaji langkah selanjutnya jika transaksi ini tidak dapat dilaksanakan,” kata Iwan kepada Bisnis, dikutip Jumat (26/9/2024).
Baca Juga
Iwan menjelaskan, pemisahan UUS telah diamanatkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomo11 Tahun 2023. Sesuai amanat regulasi itu, pemisahan UUS asuransi dapat dilakukan dengan dua cara, yakni mendirikan perusahaan asuransi syariah atau perusahaan reasuransi syariah baru, atau mengalihkan seluruh portofolio kepesertaan unit syariah kepada perusahaan asuransi syariah atau perusahaan reasuransi syariah yang sudah memiliki izin usaha.
Syarat yang harus dipenuhi antara lain dana tabarru’ dan dana investasi peserta UUS telah mencapai paling sedikit 50% dari total nilai dana asuransi, dana tabarru’, dan dana investasi peserta pada perusahaan induknya.
2. Perorangan yang Kian Kepayahan
Badan Pusat Statistik (BPS) pernah mencatat, kontribusi rumah tangga terhadap laju perekonomian kira-kira mencapai 54%—55%. Lebih dari separuh dari kontribusi komponen pengungkit pertumbuhan ekonomi lainnya seperti konsumsi pemerintah, konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga, ekspor-impor, dan investasi.
Data ini menunjukkan konsumsi rumah tangga menjadi tumpuan utama untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri melaju lebih tinggi lagi. Persoalannya, konsumsi rumah tangga pada tahun ini cenderung kurang bertenaga. Segmen rumah tangga yang mengandalkan perorangan, benar-benar sedang kepayahan.
Melihat data Bank Indonesia pada Agustus 2024, penyaluran kredit untuk golongan perorangan tumbuh 5,7% year-on-year (YoY) dengan nilai outstanding Rp3.417,1 triliun. Kelompok perorangan itu berkontribusi sekitar 46% dari total kredit sampai dengan Agustus 2024 yang mencapai Rp7.441,9 triliun.
Meski masih tercatat tumbuh, pergerakan pada Agustus tahun ini cenderung melambat. Pertumbuhan kredit perorangan itu jauh di bawah angka sebelum pandemi Covid-19 pada 2019 yang mencapai 8,8%. Sebaliknya, permintaan oleh korporasi melaju hingga 15,7% YoY pada Agustus 2024 dengan nilai kredit yang disalurkan mencapai Rp3.964,1 triliun.
3. Mengatasi Tantangan Bisnis Era Digital Adopsi Teknologi Cloud
Seiring dengan percepatan adopsi cloud, digital native business (DNB) di Asia menghadapi tantangan keamanan dan kompleksitas teknologi yang semakin meningkat, dan menimbulkan risiko bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
DNB merupakan perusahaan yang menggunakan teknologi digital secara agresif, menjadikan teknologi canggih sebagai DNA mereka. Bisnis generasi era digital (DNB) muncul di era internet dan dibangun menggunakan teknologi terkini yang tersedia saat diciptakan.
Menurut IDC, DNB diperkirakan akan menghabiskan US$128,9 miliar untuk teknologi pada 2026, dengan pertumbuhan pengeluaran tertinggi dalam teknologi berbasis cloud sekitar 37,3%, sementara perangkat lunak non-cloud 16%, dan layanan teknologi informasi 11%.
Studi Akamai Technologies bertajuk Asia’s Digital Native Businesses Priorities Security for Sustainable Growth mengungkap bahwa 3 dari 4 DNB di wilayah ini menggunakan teknologi cloud dengan fokus pada efisiensi dan produktivitas.
“Sekitar 29% bahkan telah melakukan migrasi sepenuhnya ke cloud,” kata Kepala Teknologi Akamai Jay Jenkins saat acara Editors’ Roundtable: Studi Terbaru Akamai “Asia’s Digital Native Businesses Prioritize Security for Sustainable Growth.
4. Skenario Pengungkit Penghiliran Komoditas Kelapa
Penghiliran menjadi agenda penting untuk pengembangan komoditas kelapa. Sebagai tanaman berbasis rakyat, komoditas kelapa di Tanah Air masih menyimpan potensi tersembunyi yang bisa dioptimalkan.
Adapun program penghiliran atau hilirisasi kelapa menjadi bagian dari amanat RPJPN 2025-2045 dan RPJMN 2025-2029. Untuk mendukung kebijakan tersebut, Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) akan merisilis Peta Jalan Hilirisasi Kelapa 2024-2025, salah satu yang digaungkan adalah mencari nilai tambah dari komoditas kelapa untuk di ekspor.
Staf Ahli Menteri PPN Bidang Pembangunan Sektor Unggulan dan Infrastruktur Leonardo A.A Teguh Sambodo mengatakan kelapa menjadi salah satu komoditas utama untuk ekspor selain komoditas kelapa sawit dan batu bara. Mengingat, pengekspor kelapa dan produk turunannya menjadi yang terbesar ke-2 di dunia, hanya kalah dalam nilai dan ragam dibandingkan dengan Filipina.
Hanya saja, saat ini ekspor kelapa Indonesia masih bertumpu pada produk mentah atau kelapa bulat. Tercatat, sebanyak 756,98 juta kelapa bulat masih di ekspor dengan pajak ekspor 0%. Sedangkan sebanyak 52,34% pemanfaatan dalam bentuk kopra untuk diolah menjadi minyak kelapa.
5. Alat Berat Butuh Stimulus Agar Tak Berkarat
Industri alat berat membutuhkan kemudahan importasi komponen yang menjadi kunci agar persaingan antara produsen lokal dan agen completely built up (CBU) dapat berjalan tetap sehat.
Baru-baru ini, Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (Hinabi) meminta atensi pemerintah mendorong produksi alat berat dalam negeri melalui kemudahan importasi komponen atau bahan baku.
Ketua Umum Hinabi Giri Kus Anggoro mengatakan, kebutuhan impor bahan baku untuk alat berat masih besar, sementara industri tengah berupaya menjaga daya saing produk lokal agar tak kalah saing dengan impor alat berat completely built-up (CBU) yang lebih murah.
"Untuk bisa lebih bersaing dengan barang impor built-up yang relatif lebih murah karena adanya FTA [free trade agreement], maka yang pertama adalah kemudahan importasi bahan baku untuk industri, mengingat 40-50% komponen alat berat masih impor," kata Giri kepada Bisnis, awal pekan ini.
Dia mencontohkan komponen berupa ban alat berat yang masih sulit diproduksi dalam negeri sesuai kebutuhan nasional. Padahal, kebutuhan ban untuk industri alat berat cukup besar yakni rata-rata 4.000-5.000 unit per tahun dengan nilai berkisar Rp70 miliar--Rp80 miliar.