Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pakar Soroti Skema CoB Antara BPJS Kesehatan dan Asuransi Swasta Kurang Efektif

Skema CoB untuk BPJS Kesehatan ini bisa menjadi peluang industri asuransi memperluas cakupan peserta dengan menawarkan produk asuransi pelengkap.
Karyawan melayani peserta di salah satu kantor cabang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Jakarta. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Karyawan melayani peserta di salah satu kantor cabang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Jakarta. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA -- Pakar Asuransi menilai koordinasi manfaat atau Coordination of Benefit (CoB) antara BPJS Kesehatan dan asuransi swasta dinilai kurang efektif oleh pakar asuransi. Skema CoB memungkinkan peserta BPJS Kesehatan mendapatkan fasilitas tambahan dari asuransi swasta, namun implementasinya masih memerlukan perbaikan.

Wahyudin Rahman, Praktisi Manajemen Risiko dan Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) Wahyudin Rahman mengatakan setidaknya ada empat hal yang perlu disempurnakan oleh pemerintah untuk meningkatkan efektivitas skema CoB. 

"Pertama, penetapan standar batas tarif rumah sakit. Perlu menyusun standar batas tarif untuk berbagai jenis perawatan dan fasilitas yang sesuai dengan level rawat inap, baik untuk BPJS maupun asuransi swasta dan memperkenalkan panduan harga yang jelas yang diterima secara umum oleh rumah sakit, BPJS, dan asuransi swasta, sehingga tercipta transparansi dan kepastian biaya," kata Wahyudin kepada Bisnis, dikutip Jumat (27/9/2024).

Kedua, dia menyarankan pemerintah mengatur pengendalian kenaikan tarif rumah sakit secara lebih ketat, termasuk biaya obat-obatan, alat kesehatan, dan jasa medis. Dengan begitu, inflasi medis tidak terlalu berdampak signifikan terhadap harga perawatan. Ketiga, yakni dengan mempromosikan efisiensi operasional di rumah sakit serta memanfaatkan teknologi kesehatan digital untuk menekan biaya medis jangka panjang.

Menurutnya, salah satu tantangan CoB adalah praktik duplikasi klaim. Maka dia menilai hal berikutnya yang harus dilakukan pemerintah adalah meningkatkan integrasi data klaim antara BPJS dan asuransi swasta melalui sistem digitalisasi yang transparan dan real-time. Hal ini dinilai dapat meminimalkan risiko klaim ganda dan mempercepat proses penyelesaian klaim.

"Keempat adalah perlunya insentif bagi rumah sakit dan asuransi swasta. Agar skema CoB berjalan lebih efektif, pemerintah dapat menawarkan insentif untuk rumah sakit dan asuransi swasta yang berpartisipasi," kata dia.

Wahyudin memberi contoh, rumah sakit yang mematuhi standard tarif dan menjalankan skema CoB secara transparan dapat menerima insentif fiskal atau subsidi tertentu dari pemerintah. Sebaliknya, asuransi swasta yang mendukung CoB bisa mendapatkan keuntungan melalui pengurangan beban pajak atau mendapat akses ke program-program pemerintah yang relevan.

Saat ini pemerintah sedang menyiapkan skema Kelas Rawat Inap Standard (KRIS). Selain CoB, Wahyudin meniai KRIS ini juga bisa menjadi peluang bagi industri asuransi swasta. Apalagi, untuk meningkatkan fasilitas kesehatan sesuai standard KRIS, pemerintah tidak mengalokasikan anggaran kepada rumah sakit swasta, dan diharapkan ruang kosong ini diisi oleh industri asuransi untuk berkolaborasi.

Dengan begitu, Wahyudin menilai skema ini bisa menjadi peluang industri asuransi memperluas cakupan peserta dengan menawarkan produk asuransi pelengkap bagi pasien yang menggunakan KRIS.

KRIS sendiri menetapkan standar minimum fasilitas rawat inap, tetapi menurut Wahyudin banyak pasien medium to high level yang menginginkan perawatan dengan fasilitas yang lebih baik, seperti kamar yang lebih nyaman, akses ke dokter spesialis, atau layanan tambahan yang lebih cepat. 

"Sebagai penetrasi dapat menjadi strategis dengan rumah sakit swasta yang belum bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, terutama yang menawarkan KRIS. Ini dapat menjadi daya tarik bagi RS untuk berdaya saing. Selain itu, asuransi swasta dapat masuk untuk menyediakan produk asuransi yang meliputi layanan-layanan yang tidak dicakup oleh KRIS, seperti operasi dengan teknologi mutakhir, perawatan jangka panjang, atau layanan spesialis tertentu," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper