Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong enam inisiatif untuk mengendalikan tingginya inflasi medis dan rasio klaim kesehatan. Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat rasio klaim asuransi kesehatan mencapai 139,5% per kuartal III/2024.
Hal tersebut mencerminkan nilai klaim yang dibayarkan jauh melebihi premi yang diterima. Data AAJI menunjukkan premi asuransi kesehatan hanya mencapai Rp14,98 triliun, sementara klaim yang dibayarkan melonjak hingga Rp20,91 triliun, meningkat 37,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp15,24 triliun.
Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Iwan Pasila, mengatakan untuk mengatasi tekanan ini, OJK merancang sejumlah inisiatif yang akan mendorong perusahaan asuransi kesehatan memperkuat ekosistem mereka. Iwan menjelaskan ada enam langkah yang akan menjadi fokus utama.
"Peningkatan kapabilitas digital yang memungkinkan koneksi langsung antara perusahaan dan rumah sakit secara host-to-host,” kata Iwan kepada Bisnis.com, Minggu (22/12/2024).
Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan efisiensi proses administrasi dan meminimalisasi potensi penyalahgunaan layanan medis. Selain itu, perusahaan asuransi juga didorong untuk melakukan peninjauan berkala terhadap penggunaan layanan medis di rumah sakit. Tinjauan ini bertujuan memastikan bahwa setiap layanan yang diberikan benar-benar sesuai dengan kebutuhan pasien dan tidak terjadi overuse yang memperbesar biaya klaim.
OJK juga akan mendorong pembentukan Medical Advisory Board di setiap perusahaan asuransi kesehatan. Dewan ini nantinya akan memberikan masukan terkait jalur klinis (clinical pathways) yang tepat dalam pemberian layanan medis dan efektivitas obat yang digunakan. Langkah ini diyakini dapat mengurangi risiko overmedication dan memastikan bahwa pasien menerima layanan yang sesuai dengan standar medis.
Di samping itu, Iwan menekankan pentingnya melakukan peninjauan ulang terhadap produk asuransi kesehatan yang beredar di pasaran. Produk asuransi yang dirancang ke depan diharapkan memiliki fitur co-sharing, di mana peserta asuransi turut menanggung sebagian kecil biaya layanan kesehatan yang mereka terima. Skema ini dipercaya dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menggunakan layanan medis secara lebih bijaksana.
Lebih lanjut, OJK juga ingin memastikan bahwa setiap produk asuransi memiliki fitur yang memungkinkan koordinasi dengan BPJS Kesehatan (CoB). Dengan demikian, ketika peserta asuransi menerima layanan yang juga ditanggung BPJS Kesehatan, biaya dapat dikelola lebih efisien dan perusahaan asuransi tidak harus menanggung keseluruhan beban klaim.
Iwan menegaskan bahwa promosi pola hidup sehat juga menjadi fokus OJK dalam menekan inflasi medis di masa depan. Dengan mendorong perusahaan asuransi untuk berperan aktif dalam edukasi dan program gaya hidup sehat, diharapkan masyarakat dapat lebih sadar akan pentingnya pencegahan penyakit. Upaya ini pada akhirnya akan berdampak positif dalam menekan angka klaim di kemudian hari.
“Untuk itu, OJK akan dorong enam inisiatif bagi perusahaan asuransi yang akan memasarkan asuransi kesehatan untuk memperkuat ekosistem asuransi kesehatan dan memberi nilai tambah bagi ekosistem ini,” kata Iwan.
Terakhir Iwan mengakui tiingginya inflasi medis merupakan fenomena global yang terjadi di berbagai negara, tidak hanya di Indonesia. Menurutnya, berdasarkan studi Global Medical Trend Reports yang dilakukan oleh Willis Towers Watson dan AON, inflasi medis secara konsisten berada di atas inflasi umum, bahkan mencapai dua hingga tiga kali lipatnya.
“Dari beberapa studi tentang Global Medical Trend Reports oleh Willis Towers Watson dan AON, tren inflasi medis yang jauh berada di atas inflasi umum terjadi di semua negara, tidak hanya di Indonesia. Inflasi medis ini berkisar antara 2-3 kali inflasi umum. Ada tiga penyebab utama inflasi medis yang tinggi ini, yaitu kecenderungan overuse layanan medis, overuse layanan obat, dan perilaku hidup kurang sehat dari masyarakat pengguna asuransi kesehatan,” kata Iwan.