Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah menambah manfaat tunai program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) menjadi flat 60% selama 6 bulan dalam regulasi terbaru.
Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) adalah program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja ataupun buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). JKP yang dikenal dengan tunjangan pengangguran itu dibayarkan dalam bentuk uang tunai 60% dari gaji yang dilaporkan, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2025, iuran peserta program JKP juga dipangkas menjadi 0,36% dari sebelumnya 0,46% dari upah per bulan peserta.
Itu artinya, manfaat tunai program JKP yang dibayarkan BPJS Kesetagakerjaan ditambah, dan di saat bersamaan pemasukan dana kelolaan JKP dari iuran peserta berkurang karena pemangkasan.
Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch membuat hitung-hitungan bagaimana tren ketahanan dana kelolaan JKP akan berjalan usai penyesuaian ini. Dia menyebut per Desember 2024, dana kelolaan program JKP di BPJS Ketenagakerjaan mencapai sebesar Rp14,92 triliun.
Baca Juga
"Mengenai ketahanan dana [JKP] masih kuat. JKP itu masih kuat. Karena rasio klaimnya di bawah 10%. Kalau [iuran] JKP dengan adanya rekomposisi yang ditiadakan dari [iuran] JKM, dia [rasio klaim] naik menjadi 15%," kata Timboel kepada Bisnis, Senin (17/2/2025).
Adapun penurunan iuran JKP dari 0,46% menjadi 0,36% tersebut adalah hasil dari penghapusan rekomposisi iuran program Jaminan Kematian (JKM) sebesar 0,10% yang menjadi komponen iuran JKP bila mengacu di regulasi yang lama.
Dengan demikian, meskipun rasio klaim JKP akan meningkat karena dari sisi iurannnya menurun, Timboel menegaskan ketahanan dana JKP masih aman.
"Nah, tetap 85% kan menjadi pemasukan atau pendapatan untuk menambah aset DJS. Jadi masih kuat. Jadi kalau dalam asuransi kan asal dia rasio klaimnya kecil, sebenarnya ketahanan dananya kuat," tegas Timboel.
Dia menyebut, ketahanan program BPJS Ketenagakerjaan justru yang sedang mengalami tekanan adalah pada program Jaminan Kematian (JKM).
Pemerintah memproyeksi rasio klaim JKM dengan asumsi rekomposisi iuran 0,10% untuk JKP tetap ada, akan menjadi 94,2% di tahun ini, kemudian melesat menjadi 113,2% pada 2026, 118,5% pada 2027, 122,2% pada 2028 dan menjadi 124% pada 2029.
"Ini kan artinya ketahanan dananya juga terancam. Apalagi kalau sudah rasio klaimnya itu di atas 100%, artinya apa? Pembiayaan klaim lebih tinggi daripada iuran. Nah, itu kan yang tidak sustain, tidak berkelanjutan," tegas Timboel.
Adapun BPJS Watch sudah sejak lama menyuarakan agar ketentuan rekomposisi iuran 0,10% dari program JKM untuk program JKP ini dihentikan demi menjaga ketahanan dana kelolaan program JKM. Untuk itu, Timboel mengapresiasi keputusan pemerintah tersebut sehingga dana kelolaan JKM bisa bertambah tanpa harus menopang iuran dari program JKP.
Per Desember 2024, dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan untuk program JKM tercatat sebesar Rp17,36 triliun.
"Nah, jadi saya sangat mendukung revisi PP37/2021 menjadi PP6/2025 yang menghapus rekomposisi JKM. Karena memang di satu sisi JKM sedang terancam dengan rasio klaimnya sangat tinggi. Yang kedua, ketahanan dana JKP masih kuat sehingga tidak membutuhkan rekomposisi iuran dari JKM," pungkasnya.
Sementara itu, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Mickael Bobby mencatat ketahanan dana JKM BPJS Ketenagakerjaan mulai menurun sejak 2019 ketika pandemi Covid-19 melanda. Saat itu, terjadi kenaikan pembayaran klaim yang dibarengi dengan beban rekomposisi iuran sebesar 0,10% untuk program JKP.
"Penghilangan rekomposisi tersebut membantu merelaksasi dana jaminan sosial program JKM yang sempat mengalami tekanan di masa Covid-19 yang memaksa peningkatan nilai manfaat. Ini juga membantu ketahanan dana JKM karena pada semester I/2024 lalu nilai klaim manfaat JKM pernah melampaui jumlah total iuran berjalan," ujarnya.