Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkap jumlah penyelenggara fintech P2P lending atau pinjaman online yang memiliki tunggakan kredit macet atau TWP90 di atas 5% bertambah menjadi 22 pemain.
Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK, menjelaskan jumlah tersebut mengalami penambahan dibanding pada November 2024.
"Per Desember 2024, terdapat 22 penyelenggara yang memiliki tingkat TWP90 di atas 5%, meningkat 1 entitas penyelenggara pinjaman dibandingkan periode bulan November 2024," kata Agusman dalam keterangan tertulis, Selasa (18/2/2025).
Seperti diketahui, jumlah perusahaan pinjol resmi yang diizinkan OJK saat ini mencapai 97 perusahaan. Realitas ini menunjukkan satu dari lima perusahaan atau tepatnya 22% berada dalam kondisi kredit bermasalah. Disebutkan dengan adanya penyelenggara P2P lending yang mencatatkan TWP90 di atas 5%, Agusman mengatakan OJK terus melakukan monitoring kualitas pendanaan di industri P2P lending.
"Adapun faktor yang memengaruhi rasio TWP90 antara lain kualitas credit scoring penerima dana (borrower) dan proses collection pinjaman yang dilakukan oleh penyelenggara," pungkasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Bidang External Affairs and Advocacy Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Angel Brigitta mengatakan pelaku industri telah mengimplementasikan berbagai langkah strategis untuk mengantisipasi dan memitigasi risiko kredit macet.
Baca Juga
"Kerja sama dengan penyedia data kredit seperti biro kredit Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) membantu platform memperoleh informasi yang lebih komprehensif mengenai profil kredit calon peminjam, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas portofolio," kata Angel kepada Bisnis, Jumat (8/11/2024).
Selain itu, Angel menjelaskan penyelenggara P2P lending juga memperketat analisis kredit dengan pemanfaatan teknologi dan machine learning yang mampu meningkatkan akurasi penilaian risiko peminjam. Dengan teknologi ini, platform P2P lending dapat lebih selektif dalam menyaring calon peminjam.
Dari sisi literasi, Angel menjelaskan penyelenggara P2P lending juga memperkuat edukasi kepada masyarakat terkait pentingnya tanggung jawab dalam melunasi pinjaman. Apalagi, AFPI menemukan banyak kampanye negatif ajakan gagal bayar atau galbay yang marak beredar di media sosial.
"Penguatan edukasi ini diharapkan dapat mencegah ajakan-ajakan gagal bayar yang kerap muncul di media sosial dan memperbaiki kualitas kredit secara menyeluruh. Dengan langkah-langkah ini, kami optimistis industri P2P lending akan semakin mampu menjaga kualitas kredit dan meningkatkan kepercayaan masyarakat," pungkasnya.