Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat klaim kesehatan asuransi jiwa pada sepanjang 2024 meningkat 16,4% year on year (YoY) menjadi Rp24,18 triliun. Meski masih mengalami kenaikan, tren pertumbuhan klaim kesehatan pada 2024 lebih terkendali dibandingkan tahun sebelumnya, di mana pada 2023 kenaikannya mencapai 24,6%.
Di sisi lain, pendapatan premi asuransi kesehatan mencapai Rp19,84 triliun, meningkat 25,3% dibandingkan tahun 2023. Bila angka klaim dan premi tersebut dihitung, didapatkan bahwa rasio klaim kesehatan asuransi jiwa sampai dengan akhir 2024 lalu sebesar 121,8%.
Sementara itu, data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) juga mencatat ada kenaikan klaim kesehatan di industri asuransi umum. Sepanjang 2024, klaim kesehatan asuransi umum tumbuh 8,1% YoY menjadi Rp6,88 triliun. Di sisi lain, premi kesehatan tercatat sebesar Rp11,82 triliun, tumbuh signifikan 77,2% YoY. Rasio klaim kesehatan asuransi umum periode 2024 terkontrol di level 58,2%, bahkan membaik dari periode 2023 yang hampir menyentuh 100%, tepatnya 95,3%.
Meski rasio klaim kesehatan asuransi umum berhasil dikontrol, bukan berarti industri ini aman dari risiko inflasi medis. Berdasarkan publikasi Health Trends 2025 yang dirilis oleh Mercer Marsh Benefit, inflasi medis Indonesia pada 2025 diproyeksikan mencapai 19%, naik 1,1% dari 17,9% pada 2024. Inflasi medis ini akan berdampak pada melonjaknya klaim kesehatan di industri asuransi.
Merespons adanya risiko ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menyiapkan Rancangan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (RSEOJK) tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan. Salah ketentuannya mengatur bahwa produk asuransi kesehatan yang memberikan manfaat rawat jalan harus menerapkan pembagian risiko (co-payment) yang ditanggung oleh pemegang polis, tertanggung atau peserta paling sedikit sebesar 10% dari total klaim.
Djonieri, Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK menjelaskan OJK telah meminta masukan dari industri. Salah satu usulan yang dipertimbangkan OJK adalah perluasan co-payment ini termasuk untuk rawat inap dengan batasan out of pocket per kejadian klaim. Dengan pembagian nominal klaim ini, ongkos yang ditebus perusahaan asuransi jelas akan mengecil.
Baca Juga
"Dengan adanya co-payment, diharapkan terjadi pengurangan over-utilization layanan medis yang tidak perlu, yang pada gilirannya dapat menekan laju inflasi medis dan mengurangi beban klaim yang harus ditanggung oleh perusahaan asuransi," kata Djonieri kepada Bisnis, Rabu (12/3/2025).
Sekali dayung dua tiga pulau terlapaui, Djonieri mengatakan skema ini juga bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan finansial peserta dalam biaya perawatan, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran adanya biaya yang ditanggung peserta sehingga mendorong penggunaan layanan kesehatan secara lebih bijak.
Penguatan SDM Medis dan Sistem Informasi
Dalam RSEOJK yang sedang disusun OJK ini juga memuat kriteria yang harus dipenuhi perusahaan asuransi agar dapat memasarkan produk asuransi kesehatan. Dari segi SDM, perusahaan asuransi yang memasarkan produk asuransi kesehatan harus memiliki sumber daya manusia dengan ketentuan memiliki tenaga medis dengan kualifikasi dokter yang berperan untuk analisis tindakan medis dan utilization review, dan memiliki Medical Advisory Board (MAB).
Djonieri menjelaskan peran MAB adalah memberikan masukan kepada perusahaan terkait pelayanan kesehatan, termasuk perkembangan baru layanan medis dan rekomendasi kepada komite pengembangan produk, baik di perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah.
Untuk ketentuan MAB ini, ada masukan dari industri agar kewajiban pembentukan MAB bisa disediakan oleh lembaga tertentu.
Sementara dari sisi IT, perusahaan yang menjual asuransi kesehatan harus memiliki sistem informasi yang memadai. Dalam hal ini, perusahaan asuransi dapat bekerja sama dengan pihak ketiga atau third party administrator (TPA), sebuah entitas independen yang bekerja sama dengan perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah untuk mengelola administrasi dan klaim asuransi.
Diatur lebih rinci lagi, sistem informasi tersebut setidaknya harus menyediakan akses data kepesertaan, layanan dan resume medis termasuk layanan obat dan alat kesehatan, hingga data klaim yang dibayar untuk setiap pemegang polis.
Bahkan, sistem informasi tersebut harus memiliki kemampuan untuk mendeteksi potensi fraud dan didukung basis data yang memungkinkan perusahaan menganalisis kesesuaian layanan medis dan obat yang diberikan serta melakukan utilization review dengan fasilitas kesehatan.
Di sini OJK tegas mencantumkan ultimatum, bahwa perusahaan asuransi yang tidak memenuhi ketentuan SDM dan sistem informasi tersebut harus menghentikan pemasaran produk asuransi kesehata.
"Kesiapan industri asuransi dalam memenuhi persyaratan ini bervariasi. Perusahaan yang telah memiliki infrastruktur teknologi dan sumber daya manusia yang memadai akan lebih siap untuk beradaptasi. Namun, bagi perusahaan yang belum memiliki kapabilitas tersebut, OJK akan memberikan waktu penyesuaian kurang lebih 1 tahun untuk persiapan," tegas Djonieri.
OJK berharap adanya MAB dan koneksi digital yang lebih baik dapat membantu perusahaan asuransi dalam mengelola risiko medis dengan lebih baik, yang pada akhirnya dapat berkontribusi dalam menekan inflasi medis.