Bisnis.com, JAKARTA – Porsi outstanding pembiayaan fintech P2P lending atau pinjaman online per Maret 2025 turun menjadi 35,10% dari total outstanding. Hal ini disebabkan oleh pembiayaan di segmen produktif/UMKM dianggap kurang menguntungkan karena bunga yang lebih kecil dibanding pembiayaan konsumtif, ditambah kondisi ekonomi lesu membuat potensi gagal bayarnya tinggi.
Sebagai perusahaan fintech P2P lending yang fokus pada pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), Modalku Indonesia melihat pembiayaan sektor produktif sebenarnya masih menjanjikan.
"Pembiayaan sektor produktif memiliki daya tarik yang signifikan karena berkontribusi langsung pada pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat," kata Arthur Adisusanto, Country Head Modalku Indonesia, kepada Bisnis, Kamis (15/5/2025).
Arthur menekankan bahwa fokus pada sektor produktif juga sejalan dengan komitmen Modalku Indonesia untuk memberikan dampak positif yang lebih luas bagi UKM dan perekonomian Indonesia.
Adapun outstanding pembiayaan Modalku Indonesia per 30 April 2025 tercatat sebesar Rp248,11 miliar dengan Tingkat Keberhasilan Bayar 90 Hari (TKB90) sebesar 99,52%. Itu artinya, kredit macet atau Tingkat Wanprestasi di atas 90 Hari (TWP90) Modalku Indonesia hanya sebesar 0,48%, jauh di bawah ambang batas sesuai ketentuan regulator di level 5%.
Meskipun dihadapkan tantangan berupa kondisi ekonomi yang tidak stabil saat ini, Arthur menegaskan tren penyaluran pembiayaan Modalku Indonesia masih cukup stabil.
Baca Juga
"Dari sisi angka TWP90 sampai dengan hari ini juga tercatat stabil di kisaran 0,48% dan konsisten berada di bawah 1% sepanjang 2025," tegasnya.
Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang mendorong perusahaan fintech P2P lending agar menyalurkan pembiayaan sektor produktif/UMKM. OJK memberikan kesempatan bagi 48 perusahaan fintech P2P lending yang saat ini masih fokus menyalurkan pembiayaan ke sektor multiguna/konsumtif untuk berpartisipasi melakukan pembiayaan produktif.
Arthur menjelaskan bahwa perbedaan mendasar antara pembiayaan konsumtif dan produktif terletak pada tujuannya, di mana pembiayaan konsumtif umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan individu seperti pembelian barang atau jasa. Sedangkan pembiayaan produktif ditujukan untuk pengembangan usaha, seperti modal kerja, investasi alat, atau ekspansi bisnis.
Sementara untuk sumber pembayaran pembiayaan, peminjam segmen konsumtif biasanya berasal dari pendapatan rutin individu. Sedangkan pembayaran pembiayaan produktif diharapkan berasal dari pendapatan atau keuntungan yang dihasilkan oleh usaha yang dibiayai.
Dari segi risiko, Arthur menjelaskan pembiayaan konsumtif seringkali terkait dengan stabilitas keuangan individu. Sementara dalam pembiayaan produktif, penilaian risiko yang mendalam menjadi kunci utama, karena dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kinerja bisnis, kondisi pasar, dan manajemen usaha.
"Kami percaya bahwa dengan fokus yang tepat, analisis risiko yang cermat, dan kolaborasi yang kuat, pembiayaan sektor produktif dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi perusahaan fintech lending, UMKM, dan perekonomian secara keseluruhan," tegasnya.
Arthur melanjutkan, beberapa strategi Modalku untuk meningkatkan porsi pembiayaan produktif antara lain adalah secara aktif melakukan kegiatan literasi dan inklusi bagi UKM, melakukan penilaian risiko yang komprehensif, serta berupaya memahami rantai pasok dan karakteristik bisnis UKM untuk mendapatkan profil risiko yang lebih akurat.
Selain itu, Modalku juga melakukan inovasi dan mengembangkan produk menyesuaikan dengan kebutuhan UKM, serta strategi memperluas jangkauan ke berbagai sektor ekonomi yang tetap berpotensi tumbuh positif meskipun dalam kondisi seperti sekarang.
Sebelumnya, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan potensi gagal bayar pembiayaan produktif fintech P2P lending semakin besar di tengah ketidakpastian ekonomi yang bisa berdampak pada kondisi pelaku usaha peminjam dana.
"Selain itu, bunga pengembalian sektor pembiayaan produktif yang lebih rendah membuat lender lebih memilih masuk ke pembiayaan konsumtif," ujar Huda.