Bisnis.com, JAKARTA — Upaya diversifikasi dari bisnis batu bara semakin gencar dilakukan sejumlah emiten tambang di tengah tren transisi energi global. Tekanan terhadap industri berbasis energi fosil membuat pelaku usaha mulai memutar arah, mengembangkan portofolio ke komoditas dan sektor yang lebih berkelanjutan.
Salah satu contohnya adalah PT United Tractors Tbk. (UNTR), anak usaha Grup Astra, yang kini mulai mengalihkan fokus bisnis dari batu bara ke komoditas lain seperti emas dan nikel. Pergeseran ini berdampak terhadap kinerja keuangan UNTR sepanjang kuartal I/2025.
Manajemen UNTR menjelaskan penurunan laba bersih disebabkan melemahnya kontribusi dari segmen pertambangan batu bara termal dan metalurgi, seiring penurunan harga dan volume penjualan komoditas tersebut.
Lantas, bagaimana kondisi penyaluran kredit ke sektor pertambangan seperti batu bara?
Berdasarkan Laporan Surveillance Perbankan Indonesia Triwulan IV/2024 yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kredit ke sektor pertambangan dan penggalian tercatat tetap tumbuh hingga mencapai Rp373,51 triliun, atau sekitar 4,77% dari total kredit nasional per Desember 2024 yang mencapai Rp7.827,15 triliun.
“Sektor ini tumbuh 28,59% secara tahunan, lebih tinggi dari pertumbuhan pada tahun sebelumnya sebesar 22,36%,” tulis OJK dalam laporan tersebut.
Pertumbuhan ini terutama didorong oleh subsektor pertambangan logam dan bijih timah. Kredit untuk subsektor ini tumbuh signifikan sebesar 55,26% pada akhir 2024, jauh melampaui kenaikan 28,35% pada tahun sebelumnya.
Meski demikian, penyaluran kredit ke batu bara menunjukkan sinyal perlambatan. Berdasarkan lokasi proyek, OJK mencatat kontraksi kredit sektor tambang di Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur, provinsi dengan porsi kredit tambang terbesar di wilayah itu, yakni 43,18%. Total kredit tambang di Kalimantan Timur tercatat turun Rp4,3 triliun atau 9,30% dibandingkan akhir 2023.
Petugas mengawasi proses penimbunan batu bara di Tambang Air Laya, Tanjung Enim, Sumatra Selatan, Minggu (3/3/2019)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan
“Penurunan tersebut utamanya dipengaruhi oleh pembiayaan ke sektor pertambangan batu bara, penggalian gambut, dan gasifikasi batu bara,” tulis OJK.
Adapun secara nasional, pertumbuhan kredit perbankan secara keseluruhan tercatat 10,39% YoY pada Desember 2024, nyaris sama dengan pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 10,38%.
Seiring dengan hal ini Executive Vice President Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn menyampaikan bahwa pembiayaan ke sektor batu bara masih dilakukan secara selektif dan bertanggung jawab.
"Pembiayaan di sektor batu bara dilakukan dalam rangka mendukung pasokan listrik nasional, terutama selama masa transisi energi," ujar Hera kepada Bisnis, Senin (16/6/2025).
Dia menjelaskan bahwa porsi kredit batu bara di BCA saat ini berada di bawah 3% dari total portofolio dan secara nominal menunjukkan tren penurunan dibandingkan tahun sebelumnya.
Menurut Hera, prospek sektor batu bara ke depan sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global serta dinamika geopolitik yang memengaruhi pasokan energi. Meski begitu, BCA tetap berkomitmen untuk memperkuat pembiayaan hijau dan mendukung transisi menuju ekonomi berkelanjutan.
“BCA senantiasa mengelola dampak lingkungan dari pembiayaan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dan tanggung jawab,” ujarnya.
Sementara itu, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. atau BRI juga telah menerapkan kebijakan pembiayaan untuk sektor-sektor beremisi tinggi, termasuk batu bara.
Direktur Human Capital & Compliance BRI Ahmad Solichin Lutfiyanto menegaskan bahwa prinsip ESG telah diintegrasikan ke seluruh lini bisnis perseroan. “Setiap kebijakan disusun dengan mempertimbangkan keseimbangan antara potensi bisnis dan dampaknya terhadap sosial serta lingkungan,” ujar Ahmad.
Pembiayaan berkelanjutan BRI saat ini mencakup sektor energi baru terbarukan, transportasi hijau, bangunan ramah lingkungan, hingga produk ramah lingkungan dan kegiatan usaha berwawasan lingkungan (KUBL).
Tak hanya itu, BRI juga telah menetapkan dua kriteria utama dalam pembiayaan ke sektor batu bara. Pertama, adanya roadmap pengurangan emisi dan manajemen energi sesuai regulasi, kedua, tidak menerima proyek dengan peringkat PROPER hitam.
Di sisi lain, sejumlah emiten juga sudah mulai meninggalkan bisnis batu bara. PT TBS Energi Utama Tbk. (TOBA) misalnya, telah melepas dua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 200 megawatt (MW) setelah mendapat restu dari pemegang saham dalam RUPSLB pada November 2024.
Manajemen TOBA yang dinakhodai Pandu Sjahrir menyebut divestasi ini memberikan ruang lebih besar bagi perusahaan untuk mengembangkan portofolio hijau, termasuk energi terbarukan, pengelolaan limbah, dan kendaraan listrik.
Sementara itu, PT Indika Energy Tbk. (INDY) menargetkan 50% pendapatan berasal dari bisnis nonbatu bara pada 2028 dan mencapai emisi nol bersih pada 2050. INDY tercatat telah melepas sejumlah unit usaha batu bara dan logistiknya, termasuk penjualan 51% saham di PT Multibahtera Segara Sejati Tbk. (MBSS) senilai US$41,31 juta.
Langkah serupa diambil PT Adaro Energy Indonesia Tbk. (ADRO) melalui spin-off unit usaha batu bara termal PT Adaro Andalan Indonesia (AADI).
Presiden Direktur dan CEO Adaro Garibaldi Thohir menyebut langkah ini strategis dalam menyeimbangkan portofolio bisnis serta mendukung target 50% pendapatan dari sektor nonbatu bara termal paling lambat 2030.
“Pemisahan ini memungkinkan masing-masing entitas untuk fokus pada kekuatan inti dan potensi pertumbuhan yang berkelanjutan,” ujar Garibaldi.
Namun demikian, permintaan batu bara diproyeksi masih akan tetap prospektif meski porsi rencana penambahan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Tanah Air semakin berkurang. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034, penambahan PLTU dalam 10 tahun ke depan dipatok sebesar 6,3 gigawatt (GW).
Angka itu lebih rendah dibandingkan target penambahan listrik dari PLTU pada RUPTL 2021-2030 yang sebesar 19,7 GW. Sementara itu, porsi penambahan pembangkit hingga 2034 akan didominasi oleh pembangkit berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) dengan total kapasitas 42,6 GW atau 61% dari total penambahan pembangkit.
Melihat rencana tersebut, pelaku usaha batu bara optimistis permintaan batu bara masih menjanjikan. Apalagi belum ada kejelasan pasti mengenai rencana pensiun dini PLTU dalam RUPTL terbaru PLN.
Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai permintaan batu bara untuk ekspor maupun domestik masih tinggi. "Kami masih optimistis permintaan batu bara, baik domestik maupun ekspor masih cukup bagus," kata Hendra.
Dia bahkan, memproyeksikan serapan batu bara di pasar domestik yang saat ini porsinya mencapai 25% bisa naik menjadi 30%. Menurutnya, permintaan batu bara dalam negeri akan ditopang oleh industri smelter. Hendra menilai industri pengolahan itu masih berpotensi ekspansif.