Bisnis.com, JAKARTA — Masalah yang paling mendasar dari penyediaan hunian adalah sedikitnya masyarakat yang memiliki akses terhadap fasilitas pembiayaan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 60% angkatan kerja di Indonesia mencari nafkah atau bekerja dari sektor informal. Mereka tidak
memiliki penghasilan tetap dan kontrak kerja yang mengikat.
Kondisi ini dianggap sebagai sebuah resiko bagi bank dan lembaga pembiayaan sehingga sekalipun memiliki kemampuan membayar, akses pembiayaan bagi mereka lebih terbatas dibandingkan dengan segmen lain seperti ASN, karyawan BUMN, dan karyawan swasta.
Akses terhadap fasilitas pembiayaan juga semakin terancam akibat masalah kolektabilitas dan mudahnya generasi muda terbelit hutang pinjaman online (pinjol) sehingga fasilitas pinjaman diperoleh tanpa literasi yang memadai. Data Perfindo tahun 2024 menunjukkan ada 14 juta pengguna pinjol di Indonesia, di mana 48% berada di rentang usia 20-30 tahun.
President Director MilikiRumah Marine Novita mengatakan skema subsidi saat ini tak menjawab akar masalah. Munculnya wacana rumah subsidi dengan luasan yang lebih kecil hanyalah akibat dari besarnya biaya produksi dan semakin mahalnya harga lahan untuk dapat diakomodir oleh skema subsidi.
Adapun saat ini skema subsidi yang paling besar adalah melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). Melalui skema ini, pemerintah
membantu likuiditas bagi perbankan agar dapat memberi fasilitas pembiayaan yang lebih terjangkau. Sementara itu, pemerintah tidak secara langsung menyediakan hunian, hanya mematok harga maksimal untuk rumah, dengan acuan yang berbeda di masing-masing daerah.
Baca Juga
"Kami ada program pra KPR yang ditujukan bagi masyarakat yang belum bisa mendapat fasilitas KPR dari bank, karena penghasilan tidak tetap seperti freelancer, pelaku usaha, dan agen berbasis komisi, atau karena kondisi kolektibilitas (SLIK OJK) yang tidak sempurna,"
Menurutnya, pra KPR dapat membuat konsumen bisa langsung menghuni rumah sebagai penyewa sambil mengikuti program yang didesain agar mereka dapat memiliki rumah tersebut di masa depan. Kedisiplinan dalam membayar biaya sewa setiap bulan menjadi dasar untuk membuka akses pembiayaan dengan bank sekaligus sedikit demi sedikit mengurangi plafon pinjaman yang dibutuhkan.
"Program pra KPR ini menggunakan skema Rent-to-Own (RTO) yang sudah ada sebelumnya, walaupun inovasi ini belum dikenal secara luas. Kami memahami apa yang sebenarnya menjadi akar masalah di bidang properti. Program Pra KPR ini adalah upaya membantu pemerintah dalam mencapai target 3 juta eumah yang telah dicanangkan Presiden Prabowo Subianto,"
Selain itu, pihaknya membantu pelaku usaha UMKM, pelaku industri kreatif, freelancer, dan agen berbasis komisi untuk naik kelas, mendapat akses pembiayaan, dan hunian yang nyaman dan terintegrasi melalui program pra KPR.
Dia berharap pemerintah dapat mencari solusi terkait pembiayaan, desain dan harga rumah yang terjangkau terutama untuk kalangan informal. Pemerintah perlu membuka ruang bagi solusi berbasis data dan partisipasi swasta terutama yang menyasar sektor informal.
"Program pra KPR adalah contoh bahwa dengan mendekati akar masalah bukan sekadar menambah anggaran kita bisa membangun ekosistem perumahan yang inklusif dan berkelanjutan," ucapnya.
Dengan program inovatif seperti pra KPR, pencari hunian yang selama ini memiliki masalah dapat memiliki rumah yang nyaman dan layak melalui fasilitas pembiayaan komersial sehingga tidak membebani pemerintah dengan subsidi dan ukuran rumah yang terbatas.
Untuk diketahui, Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) melaporkan penyaluran rumah subsidi melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) hingga 26 Juni 2025, sudah terealisasi sebanyak 117.000 unit dari target 350.000 unit tahun ini.