Bisnis.com, JAKARTA — Kesepakatan perdagangan yang diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump memberikan sedikit kejelasan bagi perekonomian Indonesia, meskipun kurangnya rincian kemungkinan akan membuat Bank Indonesia (BI) tetap berhati-hati dalam pertemuan kebijakan hari ini, Rabu (16/7/2025).
Sebelum Trump mengumumkan kesepakatan tersebut pada Selasa di Washington, sekitar 18 dari 33 analis yang disurvei oleh Bloomberg memperkirakan Bank Indonesia akan mempertahankan suku bunga BI Rate tetap di 5,50% untuk mendukung rupiah dalam rapatnya di Jakarta.
Sisanya memperkirakan pemotongan 25 basis poin menjadi 5,25% untuk membantu perekonomian yang melambat secara proaktif.
Satu dari 18 ekonom tersebut, ekonom senior di DBS Bank Ltd Radhika Rao memperkirakan BI akan menahan diri pada hari ini. Meski demikian, dirinya melihat hasil rapat pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Juli ini akan menjadi keputusan yang ketat setelah adanya kesepakatan tarif.
“Kesepakatan perdagangan memang meningkatkan kemungkinan bahwa BI mungkin mengandalkan sentimen yang membaik untuk menegaskan bias dovishnya hari ini,” kata, dikutip dari Bloomberg, Rabu (16/7/2025).
Baca Juga
Berdasarkan kesepakatan perdagangan yang disampaikan Trump, barang-barang Indonesia akan dikenakan tarif 19% sementara ekspor AS tidak akan dikenakan pajak. Lebih rendah dari tarif 32% yang diancam akan diberlakukan oleh Trump mulai 1 Agustus, menghilangkan sebagian ketidakpastian mengenai tingkat tarif dan dampaknya terhadap ekonomi.
Sementara itu, seorang strategis di Wells Fargo di New York Brendan McKenna menilai kesepakatan dagang akan menambahkan kompleksitas ke dalam keputusan Bank Indonesia pada hari ini.
“Saya pikir BI masih mempertahankan sikapnya karena ketidakpastian tarif secara luas masih ada, tetapi mungkin mereka memberi sinyal bahwa pemotongan suku bunga dapat dilakukan lagi dalam pertemuan mendatang sekarang bahwa setidaknya risiko idiosinkratik telah dihilangkan,” ujarnya.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali dibuka melemah ke level Rp16.266,50 pada perdagangan hari ini, saat sejumlah mata uang di Asia berkinerja beragam.
Mengutip Bloomberg, pukul 09.03 WIB, rupiah dibuka melemah ke level Rp16.266,50 per dolar AS atau terkoreksi 0,10%. Adapun, indeks dolar AS turut melemah ke level 98,54.
Gubernur BI Perry Warjiyo berulang kali mengatakan bank sentral berencana untuk melonggarkan kebijakan moneter lebih lanjut setelah dua kali pemotongan tahun ini, sambil menekankan bahwa timing tindakan tergantung pada kondisi global dan stabilitas rupiah.
Ruang Penurunan Makin Terbuka
Ekonom melihat ruang penurunan suku bunga acuan atau BI Rate semakin terbuka usai Presiden AS Donald Trump mengumumkan kesepakatan tarif sebesar 19% dengan Indonesia.
Kepala Ekonom Trimegas Sekuritas Fakhrul Fulvian melihat setelah kesepakatan perdagangan tercapai dengan AS, sudah saatnya juga kebijakan moneter lebih longgar.
Menurut Fakhrul, dengan sangat rendahnya inflasi Indonesia hanya di 1,87% year on year (YoY) pada Juni 2025 dan adanya kecendrungan menguat pada rupiah, ruang penurunan suku bunga Bank Indonesia menjadi semakin besar.
“Saya lihat BI akan menurunkan suku bunga sebanyak 25bps hari ini,” ujarnya, Rabu (16/7/2025).
Fakhrul menyampaikan bahwa penurunan ini sudah harus dilaksanakan karena Sudah banyak negara tetangga yang menurunkan bunga seperti India dan Malaysia, serta ugensi bergeser pada pertumbuhan ekonomi, dari kestabilan rupiah.
Di sisi mata uang, Fakhrul berpandangan harus ada ekspektasi perbaikan ekonomi yang bersumber dari dorongan moneter dan fiskal untuk memperkuat rupiah.
Apabila BI menurunkan suku bunga dan diikuti dengan belanja pemerintah yang meningkat, maka arus modal akan kembali dan memperkuat rupiah. Fakhrul sendiri memperkirakan bahwa rupiah dapat menguat sampai ke level Rp15.500 per dolar AS pada akhir tahun ini.
“Seharusnya sudah lebih banyak upside di tengah tahun ini dibandingkan downside,” tutupnya.
Berikut hal yang perlu diperhatikan pada RDG hari ini:
Kesepakatan AS-RI
Kesepakatan perdagangan yang diumumkan Selasa (15/7/2025) malam waktu Indonesia, menjelaskan bahwa Indonesia menghadapi tarif yang sedikit lebih rendah daripada Vietnam, yang dikenakan tarif 20% untuk barangnya sendiri dan 40% untuk barang transit.
“Mereka membayar 19% dan kami tidak membayar apa pun. Kami akan memiliki akses penuh ke Indonesia,” kata Trump kepada wartawan di Gedung Putih.
Trump kemudian mengatakan di media sosial bahwa barang transit dari negara dengan tarif lebih tinggi akan dikenakan tarif tambahan yang ditambahkan ke tarif yang dibayar Indonesia.
Ekonom di Oversea-Chinese Banking Corp. (OCBC) Lavanya Venkateswaran menjadi salah satu ekonom yang memprediksikan pemangkasan 25 bps pada hari ini. Melihat pengumuman dari Trump, Venkateswaran mewaspadai detail kesepakatan yang belum disampaikan tersebut.
“Presiden Trump mengatakan Indonesia telah memberikan akses penuh ke pasar domestik bagi AS, jadi detailnya akan krusial untuk memahami apakah pemerintah telah membuka sektor-sektor yang sebelumnya tertutup,” tuturnya.
Perhatikan keputusan Gubernur BI Perry Warjiyo mengenai apakah eksportir Indonesia, yang sudah menghadapi persaingan substansial dari ekonomi seperti China dan Vietnam, dapat menanggung tarif 19%. Negara ini juga harus menghadapi persaingan dari pasar emerging lainnya yang menjual ke pasar selain AS.
Defisit Perdagangan AS dengan Indonesia Melebar Sejak Pandemi
Ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini juga mempercepat pembicaraan tentang perjanjian perdagangan lain, termasuk dengan Uni Eropa, dengan harapan menuntaskan kesepakatan tahun ini untuk memastikan pasar ekspor alternatif.
Volatilitas Rupiah
Rupiah telah menguat terhadap dolar AS sejak pertemuan suku bunga BI bulan lalu, berkat melemahnya dolar AS secara luas dan aliran modal asing ke obligasi lokal. Namun, mata uang ini baru-baru ini kehilangan sebagian penguatannya akibat ketegangan tarif dan tetap menjadi yang terlemah di kawasan, turun hampir 1% terhadap dolar AS year-to-date.
Perry mungkin juga ingin mengevaluasi kebijakan keputusan suku bunga Federal Reserve pada akhir Juli, yang diperkirakan akan mempertahankan suku bunga, untuk lebih memahami risiko aliran modal di masa depan.
Selisih imbal hasil antara Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun dan US Treasury milik AS dengan tenor yang sama telah menyempit menjadi sekitar 200 basis poin, dengan BI melakukan dua kali pemotongan suku bunga tahun ini sementara Fed tetap mempertahankan suku bunga.
Selisih yang lebih sempit mungkin mengurangi daya tarik obligasi lokal, karena investor mungkin merasa tidak cukup diuntungkan dengan memegang instrumen yang relatif lebih berisiko.
Kekhawatiran Pertumbuhan
Salah satu alasan untuk mempertahankan suku bunga adalah memberi waktu bagi stimulus fiskal yang baru diumumkan dan pemotongan suku bunga sebelumnya untuk berdampak pada ekonomi.
Namun, kekhawatiran tentang perlambatan ekonomi semakin meningkat. Pada 2 Juli, pemerintah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi menjadi maksimal 5% tahun ini, turun dari 5,2%. Inflasi tetap rendah pada Juni, mendekati batas bawah kisaran target BI sebesar 1,5%-3,5%.
Penghapusan ketidakpastian terkait kesepakatan perdagangan mungkin memberi ruang bagi bank sentral untuk bertindak.
“Pemerintah telah mencoret item agenda besar dari daftar tugas mereka, meskipun implementasinya masih perlu dilihat. ‘Bola’ kini berada di tangan BI untuk mendorong dukungan pertumbuhan,” kata Venkateswaran dari OCBC.