Bisnis.com, JAKARTA -- Bank Indonesia memprioritaskan kebijakan moneter untuk stabilisasi nilai tukar rupiah, yang sempat menembus level 14.000.
Dalam konferensi pers Penguatan Koordinasi Untuk Stabilisasi dan Mendorong Pertumbuhan Ekonomi di Jakarta, Senin (28/5/2018), Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan pihaknya telah menyiapkan empat langkah.
Pertama, respons kebijakan suku bunga secara preemptive dan front loading untuk memperkuat serta menstabilkan nilai tukar rupiah. Hal ini juga dilakukan agar tetap konsisten dalam menjaga inflasi di kisaran 3,5% plus minus 1% pada 2018-2019.
Untuk itu, bank sentral sudah menjadwalkan Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan tambahan pada Rabu (30/5) untuk merumuskan kebijakan tersebut.
"Ini bukan RDG emergency, ini RDG tambahan," tegasnya.
Kedua, melanjutkan, memperkuat, dan mengoptimalkan intervensi ganda (dual intervention) yang telah dilakukan sejak 2013. BI, lanjut Perry, tidak hanya menstabilkan kurs tapi juga membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
Ketiga, terus mengarahkan agar likuiditas tercukupi, khususnya di rupiah dan pasar swap antar bank. Bank sentral bakal memastikan likuiditas perbankan cukup dan memenuhi berbagai kebutuhan likuiditas dari perbankan.
"Misalnya, hari ini suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) hanya sekitar 4%, sedikit lebih rendah dari policy rate kita," tuturnya.
Keempat, komunikasi yang intensif dengan pelaku pasar, perbankan, dunia usaha, dan ekonom untuk membentuk ekspektasi yang rasional. Langkah ini diyakini dapat menghindari perkiraan nilai tukar yang kecenderungannya terlalu melemah.
Perry menerangkan jika informasi yang disampaikan terbatas, maka ekspektasi pasar pun akan ke mana-mana.
Selain itu, BI meneruskan koordinasi dengan pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menjaga pertumbuhan jangka menengah serta panjang. Instrumen yang digunakan bukan hanya instrumen moneter tapi juga instrumen makroprudensial, pendalaman pasar keuangan, serta syariah.