Bisnis.com, JAKARTA — Perseroan pelat merah menggelontorkan belanja modal jumbo selama 4 tahun kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla demi menopang berbagai macam proyek infrastruktur yang tengah digenjot oleh pemerintah.
Belanja modal menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Rabu (24/10/2018). Berikut laporannya.
Bahkan, Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Imam Apriyanto Putro mencatat realisasi belanja modal bisa mencapai Rp1.300 triliun hingga 2018, dari gelontoran belanja modal atau capital expenditure (capex) sebesar Rp900 triliun dalam 4 tahun terakhir.
“Kalau misal ditambahkan pada 2018, realisasinya sampai 70% , total belanja modal yang sudah digelontorkan atau direalisasikan menjadi Rp1.300 triliun,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (23/10/2018).
Namun, belanja modal yang besar tidak dapat langsung diterjemahkan menjadi laba bersih. Akibatnya, arus kas perseroan menjadi negatif dan lantas membebani perseroan.
Frederik Rasali, Vice President Research Artha Sekuritas menyatakan perusahaan pelat merah masih butuh waktu dan proses untuk menyelesaikan proyek dan menagih pembayaran untuk pekerjaan yang bersifat turn key.
“Perlu diperhitungkan dari posisi debt to equity ratio dan juga arus kas perseroan. Apabila arus kas negatif terus menerus, maka working capital justru malah membebani,” paparnya, kemarin.
Dia menambahkan diperlukan kesesuaian antara tingkat working capital dengan kondisi arus kas agar ekspansi dan belanja modal yang digelontorkan tak lantas membebani perseroan.
Project Consultant Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Alexander Sugandi mengingatkan pemerintah masih banyak menggunakan jasa BUMN karya dalam pengerjaan proyek infrastrukturnya, yang dikhawatirkan dapat memberatkan neraca keuangan BUMN. “Idealnya proyek infrastruktur menggunakan skema public-private partnership .”
Namun, menurutnya tidak banyak swasta lokal yang berani ambil risiko investasi di infrastruktur baik melalui skema PPP maupun investasi murni swasta karena periode balik modal yang panjang. Akhirnya, BUMN-BUMN yang ditugaskan oleh pemerintah.
Managing Director Lembaga Management Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Toto Pranoto mengungkapkan sejumlah perseroan mampu mencatatkan kinerja keuangan yang baik pada rentang 2015—2018 meskipun mengalami kendala arus kas pada tahun ini.
“Apabila pembayaran proyek oleh pemerintah relatif lancar dan proyek divestasi tanpa kendala mestinya BUMN karya akan baik-baik saja,” imbuhnya.
Toto menyebut BUMN mengambil porsi 23% dari kebutuhan sekitar US$360 miliar untuk proyek infrastruktur pada 2015—2019. Selanjutnya, dunia usaha nonpelat merah berkontribusi 31% dan sisanya anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Belanja modal BUMN dikucurkan di berbagai proyek infrastruktur. Di sektor jalan tol misalnya, BUMN bertindak baik sebagai investor maupun kontraktor.
Data Kementerian BUMN mencatat terdapat 128 kilometer (km) jalan tol baru pada rentang 2014—2018. Dengan demikian, total panjang jalan tol yang dimiliki Indonesia bertambah, dari 794 km menjadi 1.294 km.
Imam Apriyanto Putro menyebut perseroan pelat merah akan tetap melanjutkan pembangunan infrastruktur. Akan tetapi, pihaknya memastikan perseroan tetap menjalankan dua fungsi utama yang diemban.
Pertama, fungsi penciptaan nilai yang membantu penerimaan negara. Kontribusi BUMN kepada negara ditargetkan Rp350 triliun pada 2018 atau naik dari sekitar Rp250 triliun pada 2014.
Kedua, fungsi sebagai agen pengembangan khususnya mengembangkan usaha kecil. Hingga September 2018, BUMN telah menyalurkan kredit usaha rakyat (KUR) Rp95 triliun dan diprediksi menembus Rp100 triliun pada akhir tahun ini.
PERAN SWASTA
Meski demikian, pemerintah juga diminta memberi ruang lebih lebar bagi swasta untuk menggarap proyek-proyek konstruksi dan infrastruktur, setelah dalam 4 tahun terakhir, proyek skala besar cenderung dimenangkan oleh kontraktor BUMN.
Wakil Sekjen Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia Errika Ferdinata menilai pemerintah perlu mengevaluasi kembali pemerataan pengerjaan proyek-proyek infrastruktur skala besar agar melibatkan kontraktor skala menengah dan kecil.
Seperti diketahui, pengerjaan proyek dengan nilai investasi di atas Rp100 miliar dibatasi hanya boleh dilakukan oleh kontraktor skala besar, yang hampir seluruhnya merupakan perusahaan BUMN.
Dengan terbitnya UU No. 2/2017 tentang Jasa Konstruksi, Errika berharap pemerintah dapat mendorong terciptanya kolaborasi antara kontraktor skala besar dan kecil sehingga rantai pasok yang berkelanjutan dapat tercipta di industri konstruksi.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi B. Sukamdani berharap pemerintah lebih membuka diri kepada sektor swasta untuk ikut terlibat. “Dengan lebih terbuka ke swasta, beban pemerintah menjadi lebih ringan, terutama dalam pembiayaan. Pemerintah juga sebaiknya memberikan penawaran yang lebih menarik ke swasta,” katanya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Erwin Aksa, menambahkan proyek infrastruktur nasional yang ditawarkan selama ini belum cukup menarik bagi swasta. Pasalnya, imbal hasil yang didapatkan dari proyek tersebut hampir tidak menguntungkan secara bisnis.
Adapun, Direktur Utama PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. Tumiyana mengatakan perseroan lebih banyak mengambil proyek-proyek di luar yang ditawarkan pemerintah. Saat ini, portofolio proyek pemerintah pada emiten berkode WIKA tersebut hanya mencapai 16%.
Selain itu, pihaknya juga memastikan tidak lagi masuk dalam proyek dengan nilai di bawah Rp100 miliar—Rp200 miliar untuk menjaga keseimbangan pasar. (M. Nurhadi Pratomo/Irene Agustine/Rinaldi M. Azka/Yustinus Andri)