Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RELAKSASI ATURAN: Wacana Lama Bersemi Kembali

Pertengahan bulan ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melempar wacana; bobot risiko untuk pembiayaan sektor prioritas akan dikurangi. Sektor itu mencakup infrastruktur, pertanian, dan maritim.
Bank Indonesia/Jibiphoto
Bank Indonesia/Jibiphoto

Pertengahan bulan ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melempar wacana; bobot risiko untuk pembiayaan sektor prioritas akan dikurangi. Sektor itu mencakup infrastruktur, pertanian, dan maritim. 

Pengurangan bobot risiko dilakukan agar bank lebih banyak menyalurkan kredit ke sektor tersebut sehingga bisa sedendang seirama dengan arah pembangunan pemerintah yang bertumpu di tiga sektor itu.

Sesungguhnya ini bukan wacana baru, ini wacana lama yang bersemi kembali. Setahun lalu, dalam Financial Executive Gathering 2014, OJK juga melontarkan wacana serupa.

Saat itu, Muliaman D Hadad, Ketua Dewan Komisioner OJK mengatakan akan meninjau ulang ketentuan terkait prinsip kehati-hatian dalam proses pemberian kredit dalam rangka merevitalisasi kapasitas industri di sektor manufaktur, energi, dan infrastruktur.

Entahlah, sudah sejauh mana hasil peninjauan ulang tersebut. Namun, yang jelas 15 Januari 2015 lalu, di hadapan pelaku industri jasa keuangan, Muliaman melontarkan kembali wacana ini. OJK memang berjanji, peraturan mengenai pengurangan bobot risiko itu akan dirampungkan tahun ini.

Dalam SE Bank Indonesia No.13/6/DPNP Tahun 2011 tentang Pedoman Perhitungan ATMR Untuk Risiko Kredit Dengan Pendekatan Standard, tingkat ATMR memang diatur bervariasi berdasarkan segmen, bukan sektor kegiatan ekonomi.

Misalnya, untuk kredit ke perusahaan yang tidak memiliki rating, ATMR dipatok 100%. Tapi, ATMR kredit ke perusahaan yang memiliki rating AAA hanya 20%. Sementara itu, segmen usaha kecil & menengah (UMKM), ATMR dihitung 75%, untuk kredit perumahan 35%, dan kredit pensiunan 50%

Secara teori, pengurangan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) memang akan menghemat modal bank. Bank, tak perlu menyisihkan pencadangan yang setara dengan nilai kredit sehingga modal bank tidak tergerus. Alhasil bank masih punya modal untuk terus ekspansi.

Tapi, Ogi Prastomiyono, Direktur Kepatuhan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, menekankan pengurangan ATMR juga perlu dibarengi dengan penjaminan. "Kalau itu dijamin, berarti risiko di bank gak ada, itu kan mempengaruhi modal," jelasnya.

Bisnis bank memang sarat risiko. Tanpa manajemen risiko yang memadai, salah langkah sedikit bisa tergelincir, non performing loan (NPL) bisa naik dan laba amblas. Kalau itu terjadi, ya sakitnya tuh di sini.

Nah, kalau bank diarahkan menggenjot kredit infrastruktur, tentu ini akan menjadi ngeri-ngeri sedap. Kredit ke sektor ini perlu dana yang besar dan jangka panjang. Di sisi lain, sumber dana perbankan lebih banyak berjangka pendek; jadilah risiko mismatch likuiditas.

Gatot M Suwondo, Direktur PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, mengatakan kendala proyek lebih ngeri dihadapi bankir ketimbang mismatch likuiditas. "Kita udah siapin duit, lahannya belum jelas," ujarnya.

Menurut Gatot, kendala proyek membuat pembangunan menjadi terkatung-katung. Padahal, bank sudah menyetujui komitmen kredit. Dia menyebut, total komitmen kredit yang belum ditarik oleh nasabah mencapai Rp60 triliun.

Salah dua proyek yang disesalkan Gatot tak kunjung dimulai yakni proyek jalan tol dan transmisi listrik di Pulau Sumatra. Panjang jalan tol yang akan dibangun di pulau Andalas itu mencapai 2.700 KM sedangkan proyek transmisi membentang sepanjang 1.120 KM.

Gatot menekankan, tanpa pengurangan ATMR pun perbankan, terutama bank bermodal besar siap mendanai proyek infrastruktur. "Sekarang kita bicara proyeknya dulu, di mana? Pembangunan daerahnya udah sinkron belum," pungkasnya.

Thilagavathy Nadason, Direktur Keuangan PT Bank Internasional Indonesia Tbk, menilai pengurangan bobot risiko tidak serta merta membuat bank bergairah menyalurkan kredit ke sektor prioritas. "Infrastruktur banyak pertimbangan, termasuk kesiapan pemerintah, ada kendala konstruksi, jadi risikonya mesti dikaji dengan baik," jelasnya.

Dus, apakah perbankan bisa langsung terangsang kalau bobot risiko dikurangi?

Dari pandangan beberapa bankir ini, peningkatan kredit ke sektor prioritas tidak melulu bisa digenjot dengan insentif. Pembenahan di masing-masing sektor juga perlu dilakukan sehingga proyek pembangunan tidak terbengkalai dan komitmen kredit yang menganggur bisa segera disalurkan.

Dengan demikian, wacana pengurangan bobot risiko ini bisa move on, tidak semata menjadi wacana.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper