Bisnis.com, JAKARTA - Penentuan besaran iuran jaminan pensiun akan serahkan ke Presiden Joko Widodo setelah pembahasan di tingkat menteri masih alot dan belum menemukan satu kesepakatan hingga saat ini. Padahal, program dana pensiun yang akan dikelola BPJS Ketenagakerjaan ini mulai berlaku 1 Juli 2015.
Dirut BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G Masassya mengatakan usulan besaran iuran beserta pertimbangan dari setiap pihak terkait yang selama ini ikut dalam pembahasan akan dipaparkan kepada Presiden paling lambat akhir bulan ini.
"Semua opsi itu kan ada perhitungan dan pertimbangannya. Semua memiliki plus minus, biar nanti diputuskan oleh Presiden mana yang baik saat ini untuk semua pihak," ujarnya seusai menghadiri rapat koordinasi di kantor Kemenko Perekonomian, Senin (18/5/2015).
Dia mengungkapkan akan ada tiga usulan yang akan dibawa. Pertama, besaran iuran 8% yang merupakan usulan dari BPJS Ketenagakerjaan, Kemenko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
Kedua, besaran 3% dari Kementerian Keuangan. Ketiga, besaran iuran 1,5% bertahap sesuai dengan usulan perwakilan pemberi kerja.
Kendati akan menyerahkan keputusan kepada Presiden Joko Widodo, Elvyn mengungkapkan besaran 8% - dengan porsi 5% di tanggung pemberi kerja dan 3% oleh pekerjanya tetap menjadi angka yang tepat. Besaran itu, sambungnya, diukur dari pemberian manfaat yang baik kepada para pensiunan.
Menurutnya, manfaat yang wajar ketika ada sekitar 35% dari rata-rata upah pekerja yang bisa didapatkan saat seseorang pensiun. Dia mencontohkan jika seorang pekerja mempunyai upah Rp4 juta per bulan, seharusnya pada saat pensiun orang tersebut setidaknya menerima Rp1,2 juta Rp1,5 juta per bulan.
Pihaknya berujar keputusan yang akan diambil nantinya tetap harus mempertimbangkan tiga aspek, yakni sustainability (keberlanjutan), affordability (keterjangkauan), dan benefit (kemanfaatan).
Sebelumnya, Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan besaran iuran jaminan pensiun 1,5% dari upah tidak akan mengubah manfaat yang diterima pekerja. Kendati besaran iuran 1,5% dari upah pekerja, dia menegaskan manfaat yang diterima oleh pekerja tetap layak, yakni 40% dari penghasilan tertimbang selama kepesertaan sebagaimana standar International Labour Organization (ILO).
Pasalnya dengan menggunakan dasar manfaat pasti, maka berapapun iuran yang akan dibayarkan oleh pekerja dan pengusaha tidak akan berpengaruh terhadap manfaat yang diterima. Ini berbeda apabila program pensiun menggunakan konsep iuran pasti, di mana manfaat yang diterima tergantung dari iuran yang dibayar.
Dasar Tetap Manfaat Pasti
Terkait skema, Elvyn memastikan tetap akan menggunakan skema manfaat pasti karena sudah diamanatkan dalam Undang-Undang No. 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Menilik beleid tersebut, BPJS menyelanggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri mengatakan skema tersebut tetap akan dilakukan. Menurutnya, hakikat dan substansi perlindungan sosial yang sudah diatur dalam UU harus dijalankan tanpa ada penyimpangan.
"Makanya jaminan dana pensiun ini harus jalan tapi jangan ngasal. Maksudnyaa tidak boleh keluar dari hakikat dan substansi UU itu. Salah satu filosofi UU kan mempertahankan derajat hidup rakyat dari masyarakat pekerja kita," jelasnya.
Menurutnya, Peraturan Pemerintah (PP) terkait besaran iuran ini seharusnya bisa terbit dalam waktu yang tidak lama lagi karena BPJS Ketenagakerjaan juga perlu waktu untuk menyusun instrument regulasi tindak lanjut dari PP itu. "Saya berharap bulan ini selesai, tapi kan keputusan di politik," tegasnya.