Bisnis.com, JAKARTA — Pemanfaatan teknologi dan maha data (big data) memungkinkan perbankan menjangkau kalangan pekerja informal untuk menjadi nasabah kredit pemilikan rumah (KPR).
PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. telah cukup lama berupaya menjangkau segmen pekerja informal agar bisa mengakses fasilitas kredit perumahan. Strategi yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan komunitas yang menaungi para pekerja di sektor informal seperti komunitas pedagang bakso, komunitas pengemudi taksi, komunitas pemangkas rambut, dan komunitas lain.
Selain itu, BTN yang merupakan bank spesialis kredit perumahan tersebut juga menggandeng perusahaan penyedia jasa transportasi online untuk membidik para mitra pengemudi. Strategi tersebut memungkinkan bank mendapatkan data para mitra pengemudi yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk menentukan credit scoring.
“Strategi tersebut dapat memberikan keyakinan tambahan bagi kami bahwa para pekerja informal tersebut mampu membayar angsuran di masa mendatang,” ujar Direktur Consumer Banking BTN Budi Satria kepada Bisnis, beberapa waktu lalu.
Menurut Budi, kelompok pekerja informal yang tidak berstatus sebagai pegawai tetap di perusahaan tidak serta merta berarti tidak memiliki kemampuan untuk membeli rumah secara kredit dengan memanfaatkan fasilitas KPR perbankan. Mereka yang bekerja secara mandiri di sektor informal seringkali justru memiliki kapasitas keuangan yang sangat memadai untuk membayar cicilan kredit setiap bulan.
Guna membuktikan kemampuan tersebut, lanjut Budi, BTN biasanya meminta nasabah dari kalangan pekerja informal untuk menabung selama 6 bulan berturut-turut dalam jumlah tertentu sebelum mengajukan KPR.
Selain itu, BTN juga mensyaratkan rekam jejak yang baik para calon debitur dari sisi keuangan. Oleh karena itu, perseroan akan terlebih dahulu mengecek calon debitur dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) untuk memastikan mereka tidak memiliki tunggakan kewajiban di masa lalu.
Dengan strategi tersebut, BTN telah memulai langkah pertama menyalurkan KPR kepada pekerja informal. Sejauh ini, menurut Budi, sudah ada 737 nasabah dengan pendapatan tidak tetap yang telah resmi menjadi menjadi debitur KPR perseroan.
Adapun, secara keseluruhan, penyaluran kredit emiten berkode saham BBTN tersebut per November 2018 mencapai Rp207,2 triliun, tumbuh 17,84% dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama tahun sebelumnya senilai Rp175,8 triliun. Portofolio KPR bagi pemilik rumah pertama mendominasi portofolio kredit.
Dihubungi terpisah, Direktur Consumer Banking PT Bank CIMB Niaga Tbk. Lani Darmawan mengatakan penyaluran KPR masih lebih banyak mengarah ke segmen nasabah yang memiliki pendapatan tetap.
Keputusan tersebut, menurut Lani, dilakukan karena mempertimbangkan kapasitas instrumen analisa kredit yang dimiliki perseroan belum mencukupi untuk menghitung kemampuan pekerja informal berpendapatan tidak tetap untuk membayar cicilan KPR.
"Lebih karena perangkat analisa kredit [perseroan] masih belum memadai bagi kami," ujarnya kepada Bisnis.
Namun demikian, lanjut Lani, perseroan tengah menjajaki analisa kredit menggunakan big data. Lani berujar perseroan berharap teknologi tersebut dapat menjadi alternatif data untuk memfasilitasi analisa kredit segmen pekerja informal.
Lani menambahkan, pada tahun ini perseroan menargetkan penyaluran KPR dapat tumbuh sekitar 15% menjadi sekitar Rp34,5 triliun dari posisi akhir 2018 sekitar Rp30 triliun. Sepanjang tahun lalu, realisasi penyaluran kredit CIMB Niaga tumbuh hampir 12% dibandingkan dengan capaian pada tahun sebelumnya.
HATI-HATI
Sementara itu, PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) menyatakan tidak memiliki program atau strategi yang spesifik untuk nasabah yang memiliki pekerjaan informal atau berpendapatan tidak tetap. Pasalnya, perseroan menilai perlu adanya aspek kehati-hatian dalam menyalurkan kredit, tak terkecuali KPR.
EVP Consumer Credit Business Felicia Mathelda Simon mengatakan bahwa proses menangani aplikasi KPR dari segmen nasabah pekerja informal tidak sederhana. Menurutnya, tantangan yang sering muncul adalah kurang atau tidak adanya data keuangan yang cukup lengkap.
"Hal yang sangat umum terjadi adalah uang keluar masuk semuanya secara tunai dan tidak ada pencatatan yang memadai," ujarnya.
Felicia menyampaikan, hingga kuartal III/2018 portofolio KPR perseroan naik sekitar 7% secara tahunan. Sementara itu, penyaluran kredit perseroan tumbuh 17,2% menjadi Rp515,5 triliun dari Rp439,8 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Pekerja informal memang seharusnya tidak dipandang sebelah mata dalam bisnis KPR. Teknologi yang semakin berkembang bisa dimanfaatkan untuk membantu proses bisnis agar lebih efisien dan menguntungkan.