Bisnis.com, JAKARTA— Bank Mandiri (BMRI) menilai terdapat tiga tantangan utama perbankan dalam menyalurkan kredit infrastruktur. Ketiga tantangan itu adalah Batas Maksimum Pemberian Kredit, likuiditas perbankan, dan alternatif pembiayaan.
SVP Large Corporate 2 Group Bank Mandiri, Yusak Silalahi mengatakan tantangan utama penyaluran kredit infrastruktur adalah Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang berlaku di Indonesia. Hal itu membuat kapasitas perbankan memnuhi kebutuhan pembiayaan infrastruktur menjadi terbatas.
Berdasarkan aturan yang berlaku di Indonesia BMPK untuk perusahaan BUMN adalah 30% dari total modal bank. Adapun, besaran BMPK yang diberlakukan untuk korporasi swasta adalah 20% dari total modal bank.
Menurutnya, untuk menghadapi tantangan BMPK tersebut, perbankan mau tidak mau harus menjadikan kredit sindikasi sebagai ujung tombak. Dengan cara tersebut, kebutuhan kredit infrastruktur diharapkan dapat terpenuhi tanpa melanggar ketentuan.
Di sisi lain, likuditas menjadi tantangan lainnya. Dengan karakteristik pembiayaan berjangka panjang, bank harus memiliki sumber dana dengan karakteristik serupa. Namun, karakteristik pendanaan perbankan Tanah Air masih mengandalkan dana pihak ketiga (DPK) yang berkarakteristik jangka pendek.
“Tantangan likudiitas kita tahu proyek infrastruktur jangka panjang, sementara struktur dari pada bisnis pendanaan mayoritas dana pihak ketiga yang bersifat jangka pendek, karena itu kita juga dalam pemberian fasilitas kredit kita juga mengkonmbinasikan penyediaan funding kepada debitur,” jelasnya.
Selain itu, menurutnya, keterlibatan pasar modal dan alternatif pembiayaan lain dalam pembiayaan infrastruktur tak kalah penting. Ketika sebuah proyek infrastruktur telah memasuki masa komersial, kreditur semestinya dapat mencari alternatif pembiayaan lain sehingga bank tidak perlu membiayai sesuai dengan tenor panjang yang diberikan.
“Manakala proyek itu masuk masa komersial, kreditur kami khususnya mulai melakukan pendekatan sell down, kolaborasi dengan Mandiri Sekuritas. Untuk kreditur sindikasi, kami sudah set up itu di awal daripada terms fasilitas kredit tersebut, sell down kredit tersebut, supaya bisa recycle agar bisa masuk ke proyeki infrastruktur yang baru,” jelasnya di Jakarta.
Yusak menyampaikan tantangan lain dalam penyaluran kredit infrastruktur adalah pertimbangan faktor perubahan kondisi politik. Dengan tenor kredit yang relatif panjang, dan potensi perubahan kebijakan pembangunan infrastruktur di masa mendatang, kredit infrastruktur menjadi perjudian.
“Tantangannya adalah political changes, dan ini dengan tenor yang cukup panjang, kami harapkan dukungan pemerintah bersifat jangka panjang sehingga proyek itu bsia selsai tepat waktu dari waktu ke waktu, sehingga dukungan pemeirntah dapat mempercapat proyek infrastruktur,” tuturnya.
Adapun sepanjang 2018, total penyaluran kredit infrastruktur Bank Mandiri mencapai limit Rp285, 4 triliun, dengan baki debet senilai Rp182,3 triliun. Mayoritas penyaluran kredit diberikan kepada proyek infrastruktur transportasi dan tenaga listrik.
Dia menjelaskan dalam penyaluran kredit infrastruktur selama ini, beberapa faktor seperti kemampuan dan reputasi kontraktor menjadi pertimbangan utama. Hal itu juga memperhitungkan penyediaan modal dan pembiayaan dari debitur.
Di sisi lain, perseroan juga melihat keterlibatan dan jaminan pemerintah dalam proyek yang akan didanai. Apabila kredit tersebur dijamin, serta disertakan subsidi dari pemerintah, proyek tersebut menjadi prioritas Bank Mandiri.
“Seperti tol lintas Sumatra, dan dukungan pemerintah lainnya yang kami lihat sangat baik untuk percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia,” ujarnya.