Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI : Menakar Merger Bank Dinar dan Bank Oke. Sama-Sama Dikuasi Apro Financial

Bank Dinar dan Bank Oke dimiliki Apro Financial Co  Ltd sebagai pemegang saham pengendali, sehingga merger dapat berjalan dengan mulus.

Bisnis.com, JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memberikan pernyataan efektif atas rencana akuisisi PT Bank Dinar Tbk dan PT Bank Oke Indonesia.

Untuk menindaklanjuti restu OJK, Bank Dinar langsung menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 11 Maret 2019 (Kontan, 13 Maret). Apa saja yang patut dipertimbangkan dalam merger itu?

RUPSLB itu membuahkan hasil antara lain sebagai berikut. Pertama, rapat menyetujui rencana penggabungan Bank Dinar dengan Bank Oke.

Kedua, rapat menyetujui untuk membeli saham pemegang saham minoritas yang tidak menyetujui penggabungan dengan harga Rp390 per lembar lebih tinggi dari harga wajar Rp324 per lembar.

Ketiga, rapat menyetujui peningkatan modal dasar Bank Dinar dari sebelumnya Rp500 miliar menjadi Rp2,5 triliun.

Keempat, rapat menyetujui nama bank hasil penggabungan PT Bank Dinar Indonesia Tbk dan selanjutnya nama menjadi Bank Oke Indonesia Tbk.

Bank Dinar berdiri pada 1990, kemudian melakukan rebranding dari Bank Liman Internasional menjadi Bank Dinar Indonesia pada 2012. Saham bank itu meliputi Apro Financial Co, Ltd 77,38% dan publik 22,62%.

Bagaimana kinerja Bank Dinar? Bank Dinar mampu meraih laba bersih yang melesat 24,32% dari Rp5,84 miliar per September 2017 menjadi Rp7,26 miliar per September 2018.

Sementara itu, Bank Oke berawal dari Maskapai Andil Indonesia Bank Pasar Seri Partha yang memperoleh izin sebagai bank umum pada 1997 dan berubah nama menjadi Bank Sri Partha. Kemudian berubah nama lagi menjadi Bank Andara pada 2009 dan berubah lagi menjadi Bank Oke Indonesia pada 2017.

Saham Bank Oke terdiri dari 99% milik Apro Financial Co., Ltd dan 1% milik pemegang saham lokal (I Wayan Gatha).

Artinya, baik Bank Dinar maupun Bank Oke dimiliki Apro Financial Co, Ltd sebagai pemegang saham pengendali yang merupakan perusahaan pembiayaan dari Korea Selatan yang fokus pada kredit konsumer.

Lantas, faktor apa saja yang patut dipertimbangkan dalam aksi korporasi tersebut?

Pertama, sesungguhnya merger dan akuisisi merupakan wujud konsolidasi perbankan yang terus didengungkan OJK. Konsolidasi perbankan lebih ditujukan pada bank papan bawah, terutama yang sulit menambah modal.

Upaya itu dapat menekan jumlah bank yang kini mencapai 115 bank. Jumlah yang terlalu banyak.

Apa tujuan konsolidasi perbankan? Menurut Bank Indonesia (BI), konsolidasi perbankan memiliki tiga tujuan. Pertama, untuk meningkatkan economies of scale dan economies of scope.

Dengan bahasa lebih bening, penggabungan beberapa bank akan menghasilkan sinergi dalam bentuk efisiensi biaya operasional untuk menghasilkan diversifikasi produk perbankan yang lebih baik.

Kedua, untuk meningkatkan kemampuan permodalan guna mendukung pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, konsolidasi amat diharapkan dapat mendorong bank untuk melakukan ekspansi kredit dengan lebih baik dan terjaga (sustainable). Pertumbuhan kredit yang subur bermanfaat untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi.

Tujuan pamungkas konsolidasi adalah untuk meningkatkan daya saing perbankan yang didukung oleh bank-bank yang maju dan sehat (sound) dalam menghadapi persaingan global.

Faktor berikutnya yang perlu dipertimbangkan dalam aksi korporasi tersebut adalah bahwa melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank, BI menetapkan bank umum kegiatan usaha (BUKU) I bermodal inti kurang dari Rp1 triliun, BUKU II (Rp1 triliun hingga kurang dari Rp5 triliun), BUKU III (Rp5 triliun hingga kurang dari Rp30 triliun), dan BUKU IV (di atas Rp30 triliun).

Nah bank umum yang termasuk BUKU I dan II inilah yang menjadi sasaran konsolidasi perbankan.

Sudah barang tentu pemerintah dan OJK wajib menyediakan insentif yang menarik sehingga bank papan bawah dengan suka rela sudi melakukan merger atau diakuisisi oleh bank yang lebih perkasa.

Tengok saja, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan memberikan potongan atau keringanan pajak bagi bank yang bersedia merger.

Regulator juga diharapkan dapat memberikan insentif yang menawan. BI telah menerbitkan PBI Nomor 15/15/PBI/2013 tanggal 31 Desember 2013 tentang giro wajib minimum (GWM) yang memberikan kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah (8%) kepada bank yang melakukan merger atau konsolidasi.

Kelonggaran itu sebesar 1% untuk jangka waktu setahun sejak merger berlaku efektif.

Faktor ketiga, dalam proses merger Bank Dinar dan Bank Oke tersebut terdapat resistensi dari sebagian pegawai. Hal itu wajar terjadi lantaran dalam merger dapat terjadi pengurangan pegawai sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan efisiensi.

Untuk menekan resistensi itu, kedua bank dapat memberikan pesangon yang lebih menarik dan sesuai dengan perundangan-undangan. Bukan hanya itu. Kedua bank dapat memberikan pelatihan bagi pegawai yang mengundurkan diri.

Hal itu bertujuan untuk memberikan pembekalan kepada pegawai dengan harapan mampu menjadi pelaku usaha baru atau sebelum mempunyai pekerjaan baru.

Selama ini, bank pelat merah telah menyediakan pelatihan bagi pegawai yang akan memasuki masa pensiun. Hal itu penting dan mendesak untuk dilakukan untuk memberikan bekal secara teori dan praktek di lapangan.

Alhasil, pegawai dapat menyongsong masa pensiun dengan hati terbuka dan semangat baru. Langkah itu dapat ditiru.

Keempat, bank perlu pula mempertimbangkan penyatuan sistem akuntansi untuk memperlancar transaksi pasca-merger. Hal perlu dilakukan mengingat bisa jadi kedua bank memiliki sistem akuntansi berbasis teknologi yang berbeda.

Kelima, pun budaya kerja (corporate culture) wajib disatukan sebagai salah satu panduan dalam mewujudkan visi, misi dan nilai-nilai bank. Pada umumnya, upaya ini membutuhkan waktu cukup lama. Namun karena kedua bank tersebut di bawah pemegang saham pengendali Apro Financial yang sama maka kemungkinan besar penyatuan budaya kerja tidak memerlukan waktu lama.

Keenam, pekerjaan rumah yang wajib dibereskan adalah peningkatan efisiensi yang tercermin pada rasio beban operasional berbanding pendapatan operasional (BOPO) yang kini mencapai 94,60% (Bank Dinar) dan 91,50% (Bank Oke) per September 2018. Rasio itu berada di atas ambang batas 70%-80% yang menyiratkan kedua bank kurang efisien.

Ketujuh, bank pasca merger juga wajib meningkatkan kualitas kredit dengan terus menekan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) yang mencapai 3,32% (Bank Dinar) dan 6,76% (Bank Oke) di tengah ambang batas 5%.

NPL tinggi akan mendorong cadangan makin tinggi pula, sehingga menggerus laba tahun berjalan bahkan modal.

Dengan mencermati aneka pertimbangan demikian, merger Bank Dinar dan Bank Oke sangat diharapkan dapat berjalan dengan mulus.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Selasa (19/3/2019)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper